Bedah Buku Hinca Pandjaitan

Konflik TPL Vs Masyarakat Adat Sumut Seakan Dikelola, Martonggo Raja ala Hinca Akomodir Semua Pihak

Konflik PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan masyarakat adat di Sumut, menjadi cerita lama yang tak kunjung berakhir.

Editor: Juang Naibaho
Dok Tribun Medan
BEDAH BUKU - Anggota Komisi III DPR RI Dr Hinca Pandjaitan XIII (tiga dari kiri) berdiskusi dengan insan pers dalam kegiatan bedah buku berjudul Jalan Tengah untuk Alam, Adat dan Industri, di Studio Tribun Medan, Jumat (7/11/2025). 

“Perusahaan tak mungkin memoderasi jalan tengah, masyarakat adat juga rasanya sulit. Kita harus berkaca juga dari beberapa konflik ini memang hampir tidak ada jalan tengah. Misalnya dari 2014 sampai sekarang sebenarnya ada empat masyarakat adat yang berkonflik di area konsesi,” paparnya.

Ia menyatakan, empat masyarakat adat yang berkonflik yakni masyarakat di  Pandumaan-Sipituhuta di  Kabupaten Humbang Hasundutan dan tiga lagi di Tapanuli Utara yakni masyarakat adat Nagasaribu, masyarakat adat Bius Hutaginjang dan masyarakat adat Aek Godang Tornauli.

Empat masyarakat ada ini menempuh perjuangan panjang untuk mendapatkan peraturan daerah tentang penetapan komunitas adat.

“Sudah 15 tahun dari 2010 diajukan dan tak kunjung disahkan di DPR. Kenapa ini? 15 tahun tak kunjung disahkan RUU-nya. Sementara banyak RUU lain kalau itu kepentingan elit politik, tiga hari bisa selesai,” singgungnya.

Dia mencontohkan Presiden Jokowi pernah mengeluarkan konsesi TPL. Memberikan kepada empat komunitas adat, tapi ada dua komunitas adat di Toba yang tak bisa ditetapkan secara definitif.

“Karena belum ada payung hukumya dari kabupaten. Bupati tidak mau teken SK penetapan komunitasnya, jadi mereka tidak bisa jadi subjek hukum. Objek hukumnya sudah, tapi subjek hukumnya tidak ada,” lanjutnya.

Konflik seperti ini, lanjutnya, juga terjadi di Sihaporas sampai bentrok dan memakan korban luka. Ada Amang Sorbatua Sialagan yang harus mendekam 7 sampai 8 bulan di penjara dan pada akhirnya dibebaskan. Kita sebenarnya miris melihat rakyat harus dipenjara atas kesalahan yang tidak dia lakukan,” ungkapnya.

Menurutnya, jalan tengah yang dimaksudkan Hinca di dalam bukunya dapat menjadi solusi.

“Supaya negara hadir tidak dalam bentuk aparat, tapi hadir dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Saya pikir Pak Jokowi sudah memulai jalan tengahnya dengan mengeluarkan sebagian konsesi untuk masyarakat adat. Satu skema yang dari dulu tidak kita temukan akhirnya ditemukan dan itu harus dilanjutkan untuk masyarakat adat yang lain,” tutup Nikson.

Praktisi media sekaligus akademisi Sumut Dr Fakhrur Rozi menilai, Hinca dalam bukunya hendak membuat konstruksi baru tentang cara berpikir masyarakat dan korporasi dalam menyelesaikan konflik. 

Rozi, sapaan akrabnya, bahkan menyentil terkait konflik yang seakan dikelola. “Apakah ini dikelola? Saya tak sampaikan lagi ya, karena sudah disampaikan kak Desi. Itu yang dirasakan banyak orang. Terutama yang sudah tahu sejarah dari konflik ini bertahun-tahun,” katanya.

Rozi juga mendorong keterlibatan pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik ini.

“Kira-kira apa yang mau kita kasih sebagai penyelesaian. Apakah jalan tengah yang disampaikan Bang Hinca ini atau mungkin ada jalan lain yang mungkin sama-sama membawa dua sisi ini ke tengah untuk mendiskusikannya,” jelas Rozi. (*/tribunmedan.com)

Sumber: Tribun Medan
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved