Mediasi Konflik Tanah, Tak Ada Titik Kesepakatan antara Masyarakat Adat, PT TPL Diberi Waktu 7 Hari

Dalam mediasi tersebut, tidak ditemukan titik kesepakatan antarkedua belah pihak baik dari PT TPL dan lima komunitas adat.

Tribun-Medan.com/Frangki Marbun
Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Irmansyah Rachman (kanan) berjabat tangan dengan Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi saat penandatanganan nota kesepahaman bersama dengan perwakilan masyarakat adat di Sumut dengan PT TPL dan Kementerian LHK. Acara berlangsung di Hotel Santika Medan, Kamis (3/5/2018). 

Laporan wartawan Tribun Medan / Frengki Marbun

TRIBUN-MEDAN.COM, MEDAN - Perwakilan Kelompok Masyarakat Tanah Adat Sumatera Utara bertemu di Hotel Santika Premiere Dyandra, Jalan Kapten Maulana Lubis, Kota Medan, Kamis (3/5/2018). 

Pertemuan ini dalam rangka mediasi untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara masyarakat adat dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pihak swasta, yakni PT TPL.

Pertemuan dipimpin Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian LHK Irmansyah Rachman. Hadir pula antara lain Direktur PT TPL (Toba Pulp Lestari) Mulia Nauli  serta jajarannya, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi, Sekretaris Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) Manambus Pasaribu, dan perwakilan tokoh adat dari lima kelompok masyarakat di Sumatera Utara.

Saat ini, setidaknya terdapat 12 kelompok masyarakat adat yang tanah wilayahnya telah dikuasai secara turun-temurun namun jatuh ke tangan negara. Dan oleh negara sejak zaman Orde Baru Soeharto diberi IUPHHK-HTI (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri) kepada PT Inti Indorayon Utama, sekarang jadi PT Toba Pulp Lestari.

Pertemuan untuk mengakhiri konflik tanah adat yang diduga diambil oleh PT TPL (Toba Pulp Lestari). Dalam mediasi tersebut Direktur Utama PT TPL, Mulia Nauli serta jajarannya, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi, dan lima perwakilan tokoh ada masyarakat Sumatera Utara, ikut serta dalam mediasi yang berlangsung di hotel Santika, Kota Medan, Kamis (3/5/2018). Mediasi dipimpin Direktorat Jenderal Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Ir Irmansyah Rachman.
Pertemuan untuk mengakhiri konflik tanah adat yang diduga diambil oleh PT TPL (Toba Pulp Lestari). Dalam mediasi tersebut Direktur Utama PT TPL, Mulia Nauli serta jajarannya, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi, dan lima perwakilan tokoh ada masyarakat Sumatera Utara, ikut serta dalam mediasi yang berlangsung di hotel Santika, Kota Medan, Kamis (3/5/2018). Mediasi dipimpin Direktorat Jenderal Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Ir Irmansyah Rachman. (TRIBUN MEDAN/FRENGKI MARBUN)

Baca: Berikut 12 Lahan Masyarakat Adat di Sumut yang Diajukan ke Kementerian LHK, Terungkap Ada Mafia!

Baca: Djonner Siap Laksanakan Keputusan Menteri Siti Nurbaya Soal Hutan Adat Leluhur Masyarakat Sihaporas 

Baca: Belanda Caplok Tanah Adat Sihaporas dari Generasi Ke-5 Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita 

Munculnya konflik antara PT TPL dan 12 perwakilan tokoh masyarakat adat Sumatera Utara, karena PT TPL telah mengambil lahan adat Sumatera Utara. Dalam pernyataan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi, mengatakan lahan yang sudah lama diduki oleh masyarakat adat Sumatera Utara telah diambil PT TPL dengan menanam pohon eukaliptus di areal tersebut.

"Jadi ini sebenarnya MoU kesepakatan bersama yang difasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk penyelesaian konflik atau penghentian konflik antara lima masyarakat/komunitas adat yang mengadukan atau melaporkan ke KLHK bahwa wilayah adatnya dikuasai oleh PT TPL. Jadi, laporan mereka bertujuan untuk mengembalikan tanah adat itu ke lima komunitas adat itu," ucapnya kepada Tribun-Medan.com, Kamis (3/5/2018)

Delima juga menjelaskan bahwa MoU penghentian konflik yang diselenggarakan di Hotel Santika tersebut harus memiliki kejelasan dan kesepakatan.

"Wilayah yang dikonflikkan ini harus dikembalikan ke lima komunitas adat ini. Nah untuk lima komunitas adat ini diklaim sebagai wilayah lahan adatnya. Karena masyarakat di situ, lahan mereka itu adalah lahan mata pencaharian, ada pohon aren, menanam tanaman, tempat mengambil kemenyan dan sebagainya. Masalahnya, pihak PT TPL mengklaim juga bahwa mereka sudah punya izin dari kementerian, alau masalah ini, pemerintah kan, enggak pernah tahu bahwa itu wilayah adat lima komunitas ini. Perusahaan ini kan menanam pohon eukaliptus di wilayah tanah adat mereka. Inilah yang menjadi konfliknya," ucapnya lagi.

Sementara Direktur PT TPL Mulia Nauli mengatakan akan menghormati, dan juga semua pihak harus mengikuti semua aturan. "Artinya juga apa yang sudah diusahakan masyarakat dalam konsesi itu, tidak akan mengganggu sampai ada putusannya. Begitu juga masyarakat, supaya tanaman kita tidak diganggu. Jadi masing-masing pihak saling menahan dirilah," kata Mulia. Namun Mulia tidak bersedia membubuhkan tanda tangan pada nota kesepahaman tersebut. 

Ia juga menjelaskan areal lahan yang mereka yakini milik perusahaan, sudah memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Perusahaan punya izin dari KLHK. Kalau enggak punya izin, kami enggak berani. Yang sekarang mereka klaim perusahaan yang punah izin. Di dalam izin itu juga kami diwajibkan menjaga segala macam. Dan yang sudah dikelola masyarakat, dibiarkan ke masyarakat, perusahaan juga, karena sudah punya izin, dikelola oleh perusahaan sendiri. Nah masalah tanah adat ini kan harus ada Perda dan segala macam, setelah Perda baru bisa," ucapnya lagi.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved