Inspiratif
Sosok Dokter Tigor Silaban yang Mengabdi Puluhan Tahun di Papua, Mampukah Anda Mengikuti Jejaknya?
Pengangkatan kartu kuning oleh Ketua BEM UI Zaadit Taqwa itu terkait soal penanganan gizi buruk dan kesehatan di Asmat,Papua.
Penulis: AbdiTumanggor | Editor: AbdiTumanggor
Sebab tindakan operasi yang dia lakukan selama di pedalaman Papua tidak lazim. Namun Tigor mengklaim keselamatan pasien nomor satu. Makanya selama 34 tahun aktif menjadi dokter, tidak ada satu pasien pun yang meninggal di meja operasinya.
"Karena nggak banyak dokter yang memilih untuk praktik di perdalaman. Kebanyakan di kota. Temen-temen saya bilang, ‘lu dokter gila, gue nggak habis pikir’," cerita Tigor.
Selain pengalaman seru menjadi dokter di pedalaman Papua yang masih ‘perjaka’, Tigor juga bercerita tentang operasi-operasi ala pedalaman Papua yang belum ada listrik. Bahkan dia harus berjalan berminggu-minggu dari kampong ke kampong untuk mengobati penduduk.
Bagiamana cerita serunya? Berikut wawancara suara.com dengan Tigor Silaban saat datang ke Jakarta beberapa waktu lalu:
Bagimana awal Anda menjadi dokter pedalaman di Papua?
Dulu kan semua calon dokter mengikuti Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengiriman dokter ke daerah. Isinya meletakkan dokter yang baru lulus untuk masuk ke daerah-daerah yang perlu dioptimalkan pelayanan kesehatannya. Tapi belakangan instruksi tersebut sudah tidak bisa memaksa seseorang.
Saat itu kita ditempatkan di puskesmas. Jadi ada benarnya Inpres itu dulu. Penempatan sampai ke puskesmas pembantu, jadi ada tenaga dokter di sana. Inpres itu dimulai tahun 70-an awal. Saya tahun 1979 ke pedalaman Papua. Dalam Inpres itu ada paket membangun puskesmas, puskesmas pembantu, dan semua alat kesehatan, tenaga dokter gigi, ahli gizi, perawat, bidan, dan tenaga lingkungan dikirim dari Jakarta.
Kebutuhan dokter di Papua selalu tercatat, jadi kalau butuh tinggal hubungi pusat dan dikirim kebutuhan itu.
Tapi masalah obat, Pemda belum punya uang dan belum bisa membeli. provinsi belum berstatus otonomi, dan selalu kekurangan uang. Semua dari pusat. Tapi sekarang pun setelah otonomi, puskesmas tidak juga berlebihan, walaupun uang banyak. Puskesmas sekarang kosong, tenaganya mau cari ke kota semua. Itu persoalan lain lagi. Ada uang tapi orangnya nggak mau ditempatkan di sana. Maunya ke kota.
Bagaimana kondisi di sana?
Dulu saya ditempatkan di Kabupaten Jayawijaya. Keadaan di sana tidak sama seperti sekarang. Dulu, kabupaten Jayawijaya seluas Jawa Barat, sekarang sudah dipecah. Dulu transportasi hanya menggunakan Pesawat Cessna dari Wamena. Kira-kira lama perjalanan 15 sampai 20 menit. Sementara akses darat hanya bisa dilalui dengan jalan kaki selama seminggu.
Dulu, saya melakukan itu. Jalan kaki selama seminggu sekali dengan perawat lelaki. Sebab jaman dahulu pesawat sangat sulit didapat. Karena prioritas pengangkutann pesawat untuk misionaris. Pesawat jarang dan medannya sangat sulit. Tapi jika diperlukan untuk kebutuhan pasien, pasti bisa.
Pertama praktik di Papua saya ditempatkan di Oksibil. Dulu di sana daerah merah atau zona berbahaya. Bahkan Panglima TNI tidak boleh ke sana. Penembakan masih marak di Puncak Jaya.
Dokter Tigor Silaban (suara.com/Pebriansyah Ariefana)