Viral Medsos
Rupiah Tertekan, Jangan Takut! Tidak Akan Terjadi Seperti Krisis 1998, Berikut Penjelasannya
Apa yang dialami Indonesia saat ini (rupiah merosot) akibat dampak ekonomi global tidak akan terulang seperti krisis 1998.
Penulis: AbdiTumanggor | Editor: AbdiTumanggor
Tak kalah penting adalah independensi Bank Indonesia.
“Ini beda dengan intervensi yang dilakukan pemerintah Turki dan Argentina terhadap bank sentralnya, sehingga ada hambatan ketika bank sentral ingin menaikkan suku bunga, misalnya,” kata Denni.
Denni menegaskan, Pemerintah tidak bersikap santai menghadapi situasi ini.
“Pemerintah sangat mawas akan hal ini, dengan menguatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan juga Otoritas Jasa Keuangan,” urainya.
Juga tak kalah penting menurut Denni, Indonesia memiliki hubungan cukup baik dengan bank sentral negara lain seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Australia.
“Kita punya bilateral soft arrangement, jadi saat misalnya kita butuh dolar, kita bisa minta bank sentral negara-negara itu untuk memback-up, walaupun cadangan devisa kita saat ini ada 118 Milar Dolar AS,” jelas doktor ekonomi lulusan University of Colorado itu.

Denni memaparkan, pemerintah menahan harga BBM sejak tahun lalu demi menjaga daya beli masyarakat terjaga, termasuk dengan meningkatkan subsidi untuk solar serta efisiensi Premium oleh Pertamina.
Terkait fluktuasi nilai rupiah terhadap Dolar AS, Denni mengingatkan, bahwa sebagai negara pengekspor minyak dan beberapa komoditas lain, pemerintah juga mendapatkan mendapatkan windfall berupa kenaikan PNBP. “Keuntungan ini antara lain digunakan untuk mensubsidi solar agar dapat menstimulasi produktivitas di bidang industri khususnya transportasi barang dan jasa,” paparnya.
Terkait daya dukung masyarakat, Denni masih melihatnya sebagai hal yang positif.
Dapat dilihat bahwa konsumsi sudah tumbuh di atas lima persen.
Namun pertumbuhan ini harus terus dipantau, beserta pula beberapa indikator lainnya.
“Stabilitas ekonomi itu sangat penting, kita tidak bisa hidup dalam kondisi besar pasak daripada tiang. Apabila bertahan seperti itu ekonomi kita bisa jatuh,” kata akademisi yang pernah menjadi anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk Kerja Sama Internasional, Tim Asistensi Menteri Perdagangan Mari Pangestu, serta mantan Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Boediono tersebut.
Intinya, pungkas Denni, berkaca dari indikator-indikator ekonomi yang baik tadi, masyarakat tidak perlu panik. “Yang terjadi di dunia sana biarlah terjadi di sana, kita tetap saja fokus bekerja membangun bangsa,” katanya.
Tanggapan Darmin Nasution
Sebelumnya, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengaku heran dengan sejumlah pihak yang membandingkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dengan masa krisis ekonomi pada tahun 1998.
"Jangan dibandingkan Rp 14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. Membandingkannya yang fair (adil)," ujar Darmin.
Darmin menjelaskan, pelemahan rupiah pada 20 tahun yang lalu sangat drastis, di mana sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 menjadi Rp 14 ribu per dolar AS.
"Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu per dolar AS, tahun 2014 itu dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu. Maksud saya, cara membandingkan dijelaskan," ujar Darmin.
"Apa yang dialami saat ini (tahun 2018) itu 5-6 kali lipat perbedaannya," lanjut Darmin.
Menurut Darmin, fundamental perekonomian Indonesia saat ini masih dalam kondisi baik, yang tercermin dari inflasi di kisaran 3 persen dan pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
"Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang difisit 3 persen, itu pun lebih kecil dari tahun 2014 sebesar 4,2 persen, masih lebih kecil juga dari Brazil, Turki, Argentina," ucapnya.
Darmin menilai, persoalan defisit transaksi berjalan bukan sesuatu penyakit baru dihadapi Indonesia, tetapi sudah terjadi sejak 40 tahun yang lalu.
"Memang ini agak besar tapi enggak setinggi 2014 (desifitnya), tidak setingga tahun 1994 hingga 1995," tutur Darmin.
Pelemahan rupiah yang saat ini di atas Rp 14.800, kata Darmin, lebih disebabkan faktor eksternal yaitu krisis keuangan di Argentina yang berdampak terhadap nilai tukar mata uang semua negara.
Pernyataan Sri Mulyani di Hadapan DPR RI
Melemahnya nilai mata uang rupiah ini, DPR sebelumnya mengkritik pemerintah karena kondisi rupiah yang saat ini menyentuh level 15 ribu per Dolar Amerika Serikat (AS).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Hal tersebut dilakukan agar perubahan nilai tukar rupiah mencerminkan fundamental ekonomi yang menopangnya dan fleksibilitas rupiah dapat dikelola dan diserap perekonomian dengan baik.
"Kami akan terus mewaspadai pergerakan nilai tukar rupiah yang dipicu oleh sentimen global dan perubahan kebijakan negara Amerika Serikat," kata Menkeu Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Selasa (4/9/2018) lalu sebagimana dilansir dari Tribunnews.com.
Sri Mulyani menagaskan, BI dan OJK akan terus menjaga sistem keuangan dan fungsi intermediasi agar tetap stabil dan tahan terhadap guncangan global.
"Dalam rangka mitigasi dan antisipasi terhadap risiko nilai tukar rupiah, pemerintah dan BI akan menyiapkan dan memanfaatkan kerja sama regional dan global untuk memperkuat instrumen second line of defense," ujarnya.
Dia menyatakan, pemerintah akan menggunakan seluruh instrumen kebijakan, baik instrumen fiskal maupun instrumen kebijakan struktural, untuk terus melakukan penguatan struktur perekonomian Indonesia dengan memperkuat sektor industri manufaktur yang mampu menghasilkan devisa serta mengurangi impor, terutama impor barang konsumtif.
"Juga mendukung pariwisata, sehingga neraca perdagangan dan transaksi berjalan menjadi kuat," ujar dia. (*)