Akhirnya Terungkap 3 Keinginan Jokowi Ngotot Mau Revisi UU KPK, Mahfud MD Anggap Aneh Surat Presiden

Akhirnya Terungkap 3 Keinginan Jokowi Ngotot Mau Revisi UU KPK, Mahfud MD Anggap Aneh Surat Presiden

Editor: Salomo Tarigan
dok/biropers
Akhirnya Terungkap 3 Keinginan Jokowi Ngotot Mau Revisi UU KPK, Mahfud MD Anggap Aneh Surat Presiden 

Akhirnya Terungkap 3 Keinginan Jokowi Ngotot Mau Revisi UU KPK, Mahfud MD Anggap Aneh Surat Presiden

TRIBUN-MEDAN.COM - Akhirnya Terungkap 3 Keinginan Jokowi Ngotot Mau Revisi UU KPK, Mahfud MD Anggap Aneh Surat Presiden.

//

Pemerintah dan DPR menyepakati pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. 

Baca: KETUA KPK BARU -TERKUAK Kekayaan Irjen Firli Bahuri, Sosok Kontroversi hingga Dipilih DPR Pimpin KPK

Kesepakatan itu disampaikan dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) dengan perwakilan Presiden Joko Widodo, yaitu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019) malam.

Baca: TERUNGKAP Daftar Penyakit BJ Habibie Sebelum Meninggal, 2018 Alami Kebocoran Klep Jantung

"Kami tegaskan kembali bahwa pada prinsipnya kami menyambut baik dan siap membahas usul DPR atas rancangan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam rapat-rapat berikutnya," kata Yasonna.

Namun, ada tiga keinginan Presiden Jokowi dalam rancangan revisi UU KPK tersebut.

Pertama, pengangkatan ketua dan anggota dewan pengawas harus menjadi kewenangan presiden. Alasannya, agar dapat meminimalisir waktu dalam proses pengangkatan dan terciptanya proses transparansi dan akuntabilitas.

"Mekanisme pengangkatan tetap melalui panitia seleksi serta membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan terhadap calon anggota pengawas mengenai rekam jejaknya," ujar dia.

Baca: KETUA KPK BARU -TERKUAK Kekayaan Irjen Firli Bahuri, Sosok Kontroversi hingga Dipilih DPR Pimpin KPK

Kedua, pegawai KPK semestinya berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut Yasonna, pemerintah membutuhkan waktu dua tahun untuk mengalihkan pegawai KPK menjadi ASN.

"Dalam RUU ini, pemerintah mengusulkan adanya rentang waktu yang cukup (selama 2 tahun) untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik tersebut dalam wadah Aparatur Sipil Negara," tutur Yasonna.

"Dengan tetap memperhatikan standar kopetensi mereka, yakni harus telah mengikuti dan lulus pendidikan bagi penyelidik dan penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," sambungnya.

Baca: WHATSAPP TERKINI: Fitur Baru Sidik Jari WA, Simpan Rahasia di Whatsapp (WA),Cara Mengatur & Aktifkan

Ketiga, KPK harus sebagai lembaga negara. Hal ini sebenarnya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Dalam aturan itu, dikatakan KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen. Lembaga state auxiliary agency ini disebut sebagai lembaga eksekutif independen.

KPK disebut eksekutif karena melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif yakni penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

"Namun demikian, Pemerintah bersedia dan terbuka untuk melakukan pembahasan secara lebih mendalam terhadap seluruh materi muatan dalam RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini," lanjut dia.

Baca: WANITA WAJIB TAHU Tips Agar tak Berjerawat Jelang Menstruasi, Selain Atasi Nyeri Perut,Cara Mencegah

Baca: WHATSAPP TERKINI: Fitur Baru Sidik Jari WA, Simpan Rahasia di Whatsapp (WA),Cara Mengatur & Aktifkan

Selanjutnya, forum rapat pun membentuk panitia kerja (Panja) sebagai wadah pembahasan masing-masing revisi UU tersebut.

Forum memutuskan, Ketua Panja revisi UU KPK dipercayakan kepada Supratman Andi Agtas. Ia diketahui juga merupakan Ketua Baleg DPR.

Sementara, Ketua Panja revisi UU MD3 dipercayakan kepada Totok Daryanto.

KETUA KPK BARU - TERKUAK Kekayaan Irjen Firli Bahuri, Sosok Kontroversi hingga Dipilih DPR Pimpin KPK

TRIBUN-MEDAN.COM - Inilah sosok Irjen Firli Bahuri, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuai kontroversi.

Baca: Ketua KPK Luapkan Kecewa, Jokowi Kirim Surpres, Minta KPK Diubah saja Jadi Komisi Pencegahan Korupsi

Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK telah menyerahkan 10 nama calon pimpinan lembaga antirasuah kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca: Jadwal Lengkap MotoGP -Siaran Langsung Seri ke-13 MotoGP 2019 San Marino,Jadwal Mulai Jumat Hari Ini

Penyerahan tersebut disampaikan Pansel Capim KPK secara langsung kepada Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/9/2019).

Dari 10 daftar nama yang diserahkan pada Presiden, ada nama Irjen Firli Bahuri.

Sejak tahapan seleksi capim KPK, nama Irjen Firli memang jadi sorotan masyarakat dan dinilai cukup kontroversial hingga terpilih jadi ketua KPK peridoe 2019-2023.

Kapolda Sumatera Selatan disebut memiliki kekayaan lebih dari Rp 18 miliar.

Capim Komisi Pemberantasan Korupsi Irjen Firli Bahuri menjalani tes wawancara dan uji publik di Gedung 3 Lantai 1, Setneg, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019)
Capim Komisi Pemberantasan Korupsi Irjen Firli Bahuri menjalani tes wawancara dan uji publik di Gedung 3 Lantai 1, Setneg, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019) (Theresia Felisiani/Tribunnews.com)

Sebelumnya, sebanyak 500 pegawai KPK telah menandatangani penolakan capim KPK Irjen Firli untuk menjadi pimpinan KPK peridoe 2019-2023.

Tak hanya itu, Irjen Firli disebut-sebut diduga melakukan pelanggaran etik saat masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.

Berikut rangkuman sosok dan sepak terjang Irjen Firli, dirangkum Tribunnews.com dari Kompas.com:

1. Biodata Irjen Firli Bahuri

Irjen Firli Bahuri lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, pada 7 November 1963.

Ia pertama kali menjadi anggota Polri sebagai lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1990.

Firli kemudian masuk di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) tahun 1997.

Pada 2004, dia kemudian menempuh Sekolah Pimpinan Menengah (Sespimen).

2. Riwayat jabatan

Kapolda Sumsel Irjen Firli Bahuri makan siang bersama personel Brimob yang akan berangkat ke Papua, Jumat (30/8/2019). (Tribun Sumsel)
Pada 2001, Firli menjabat Kapolres Persiapan Lampung Timur.

Kariernya berlanjut dengan ditarik ke Polda Metro Jaya menjadi Kasat III Ditreskrimum pada 2005-2006.

Selanjutnya dua kali berturut turut menjadi Kapolres, yakni Kapolres Kebumen dan Kapolres Brebes pada 2008 saat pangkatnya masih AKBP.

Karirnya semakin moncer ketika ditarik ke ibu kota menjadi Wakapolres Metro Jakarta Pusat, tahun 2009 lalu.

Kepercayaan terus mengalir padanya ketika didapuk menjadi Asisten Sespri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2010.

Baca: Jadwal Lengkap MotoGP -Siaran Langsung Seri ke-13 MotoGP 2019 San Marino,Jadwal Mulai Jumat Hari Ini

Baca: BABAK BARU Hotman Paris Jawab, Apa Perseteruan Disetting? Berselisih dengan Farhat Abbas dan Andar

Keluar dari Istana, lantas memegang jabatan Direktur Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Jateng tahun 2011.

Firli kembali ke Istana dan kali ini menjadi ajudan Wapres RI tahun 2012, saat itu Boediono.

Dengan pangkat komisaris besar, membawanya Firli menjabat Wakapolda Banten tahun 2014.

Firli juga sempat mendapat promosi Brigjen Pol saat dimutasi jadi Karo Dalops Sops Polri pada 2016.

Setelah itu, bintang satu (Brigjen) berada di pundaknya kala menjabat Wakapolda Jawa Tengah pada 2016.

Berturut-turut, mulai 2017, Firli menjabat sebagai Kapolda Nusa Tenggara Barat untuk menggantikan pejabat sebelumnya Brigjen Pol Umar Septono.

Tak lama kemudian, Firli dilantik pimpinan KPK sebagai Deputi Penindakan KPK pada 6 April 2018.

Saat di KPK, Firli masih berpangkat Brigjen Pol, pada April 2018 lalu.

Tak berselang lama, kenaikan pangkat pun diterimanya menjadi bintang dua (Irjen).

Diangkatnya Firli sebagai Deputi Penindakan KPK pun sempat mengundang tanya.

Sebab, Firli merupakan bekas ajudan mantan Wakil Presiden Boediono yang sempat tersandung beberapa kasus dugaan korupsi.

Selama kurang lebih setahun di KPK, Firli kemudian ditarik kembali ke Polri pada 20 Juni 2019.

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang menjelaskan, penarikan itu dilakukan lantaran Firli telah mendapat jabatan baru di Korps Bhayangkara.

Ternyata, Firli didapuk menjadi Kapolda Sumatera Selatan hingga kini.

3. Rekam Jejak Pemberantasan Korupsi

Kapolri Jenderal Tito Karnavian melantik Irjen Pol Firli sebagai Kapolda Sumatera Selatan di Rupatama, Mabes Polri, Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (25/6/2019). (Tribunnews.com/Fahdi Fahlevi)
Penyidik terbaik Polri ini pernah mengungkapkan kasus mafia pajak dengan tersangka Gayus Tambunan.

Saat itu, Firli masih berpangkat AKBP merupakan mantan anggota tim independen Polri mengungkap kasus mafia pajak tersebut.

Kala menjadi Kapolda NTB ini pun memimpin Polda NTB sedang menyelesaikan kasus dugaan korupsi perekrutan CPNS K2 Dompu dengan tersangka Bupati Dompu H Bambang Yasin (HBY).

Sepanjang jenjang kariernya, ia telah mengungkap ratusan kasus korupsi baik di Jawa Tengah, Banten, maupun Jakarta.

4. Punya harta lebih dari Rp 18 miliar

Irjen Firli Bahuri tercatat memiliki kekayaan yang cukup fantastis, yaitu sebesar Rp 18.226.424.386.

Hal itu berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Firli dengan tanggal pelaporan 29 Maret 2019 yang diunduh dari situs https://elhkpn.kpk.go.id.

Firli tercatat mengurus laporan kekayaannya terakhir dalam jabatannya sebagai Deputi Penindakan KPK, demikian dikutip dari Kompas.com.

Dari dokumen tersebut, Firli tercatat memiliki 8 bidang tanah dan bangunan dengan beragam ukuran di wilayah Bandar Lampung dan Bekasi.

Satu di antaranya merupakan warisan tanah seluas 250 meter per segi dan bangunan seluas 87 meter per segi di Bekasi dengan nilai Rp 2,4 miliar.

Adapun nilai total aset tanah dan bangunan Firli mencapai Rp 10.443.500.000.

Kemudian, ia tercatat memiliki 5 kendaraan.

Yaitu, motor Honda Vario tahun 2007 dengan nilai Rp 2,5 juta, Yamaha N-Max tahun 2016 dengan nilai Rp 20 juta, mobil Toyota Corolla Altis tahun 2008 dengan nilai Rp 70 juta.

Kemudian, Toyota LC Rado tahun 2010 dengan nilai Rp 400 juta dan Kia Sportage 2.0 GAT tahun 2013 senilai Rp 140 juta.

Selanjutnya, Firli tercatat memiliki kas dan setara kas senilai Rp 7.150.424.386.

5. Diduga lakukan pelanggaran kode etik

Kiprah Firli saat di KPK tidak begitu harum.

Masih dari Kompas.com, ia diduga melanggar kode etik karena bertemu dan bermain tenis dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru Bajang (TGB) pada 13 Mei 2018.

Padahal, saat itu TGB menjadi saksi dalam sebuah kasus yang sedang ditangani KPK.

Berdasarkan catatan Kompas.com, Firli pun sudah menjalani pemeriksaan di internal KPK.

Namun, proses tersebut terhenti lantaran Firli ditarik oleh Polri untuk kemudian ditugaskan menjadi Kapolda Sumatera Selatan.

"Ketika masih menjadi pegawai KPK, masih menjadi domain dan kewenangan KPK untuk memproses jika ada dugaan pelanggaran etik."

"Namun, ketika sudah menjadi pegawai di instansi yang lain, tentu saja kewenangan dan domain itu berada pada instansi tersebut."

"Itu yang bisa saya sampaikan," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Kamis (20/6/2019).

Firli pun mengakui pertemuan dengan TGB.

Namun, ia membantah merencanakan pertemuan dengan TGB yang saat itu sedang menjadi saksi atas kasus dugaan korupsi yang sedang ditangani KPK.

"Saya bertemu Pak TGB itu sudah izin pimpinan KPK (Agus Rahardjo), saya harus ke NTB karena ada serah terima jabatan dan diundang bermain bersama pemain tenis nasional," ujar Firli.

"Saya datang pukul 06.30 WITA saat bermain tenis itu. Setelah dua set pukul 09.30 WITA, TGB datang. Jadi saya tidak mengadakan hubungan dan tidak mengadakan pertemuan," ujar dia.

Bahkan, setelah tidak sengaja pertemuan itu terjadi, Firli sudah melaporkannya ke pimpinan KPK di Jakarta.

Dari pertemuan tersebut, telah disimpulkan, Firli tidak melanggar kode etik.

Baca: BABAK BARU Hotman Paris Jawab, Apa Perseteruan Disetting? Berselisih dengan Farhat Abbas dan Andar

"Pada 19 Maret 2019, saya bertemu lima pimpinan KPK. Pertemuannya di lantai 15 Gedung Merah Putih."

"Dari pertemuan itu, disimpulkan, saya tidak melanggar kode etik. Apalagi, TGB kan bukan tersangka," lanjut dia, dikutip dari Kompas.com.

Namun, pernyataan Firli langsung dibantah oleh KPK.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK tidak pernah mengeluarkan putusan yang menyatakan Firli tidak melanggar kode etik.

"Setelah saya cek ke pimpinan KPK, kami pastikan informasi tersebut tidak benar."

"Pimpinan KPK tidak pernah menyatakan, apalagi memutuskan, tidak ada pelanggaran etik oleh mantan pegawai KPK (Firli) yang sekarang sedang menjalani proses pencalonan sebagai pimpinan KPK," kata Febri.

Febri menyatakan, pemeriksaan Direktorat Pengawasan Internal (PI) atas dugaan pelanggaran kode etik Firli selesai pada 31 Desember 2018.

Dalam proses pemeriksaan, Firli pernah diperiksa pada awal Desember 2018.

Fokus tim PI, lanjut Febri, bukan hanya pada pertemuan Firli dengan TGB, tetapi juga dengan pihak lain.

"Informasi yang saya terima ada pertemuan dengan orang yang sama, ada pertemuan dengan pihak lain. Itu yang didalami tim pemeriksa internal," katanya.

Kemudian, lanjut Febri, hasil pemeriksaan diserahkan ke pimpinan KPK pada 23 Januari 2019.

Pimpinan kemudian menugaskan Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) membahas lebih lanjut terkait hasil pemeriksaan itu.

Namun, seperti yang telah disebut di atas, proses ini tidak bisa tuntas karena Firli telah ditarik oleh Polri.

Namun, Febri memastikan, KPK telah menyerahkan data terkait rekam jejak tersebut kepada Pansel Capim KPK.

"KPK tidak dapat membuka Informasi lebih rinci. Namun, kami sudah memberikan informasi yang cukup pada pihak panitia seleksi," ujar dia, dikutip dari Kompas.com.

6. Ditolak 500 pegawai KPK

Sebanyak 500 pegawai KPK telah menandatangani penolakan calon pimpinan KPK Irjen Firli untuk menjadi pimpinan KPK peridoe 2019-2023.

Hal itu disampaikan oleh pegiat antikorupsi, Saor Siagian dalam diskusi di Gedung KPK, Rabu (28/8/2019).

Menurut Saor, penolakan tersebut harus menjadi alarm bagi Pansel Capim KPK dalam menyaring 10 nama capim KPK yang diserahkan kepada Presiden.

Baca: AKHIRNYA 3 Keinginan Jokowi Revisi UU KPK Terungkap dari Yasonna Laoly hingga Kontroversi Ketua KPK

"Saya bayangkan saya bisa suarakan ini bukan hanya 200 tetapi 500, barangkali ini pesan kepada Pansel apakah dia akan memilih orang yang akan ditolak, ya terserah, tetapi itulah peran-peran yang bisa kita lakukan sebagai publik," kata Saor.

Saor mengatakan, penolakan itu berasal dari penyidik dan pegawai lainnya yang merasa gelisah karena Firli pernah melanggar kode etik saat menjabat sebagai Direktur Penindakan KPK dan tidak mengakuinya.

"(Gelisah karena) dia sudah berbohong. Dia bilang dia tidak pernah melanggar kode etik, ternyata tidak pernah komisioner bilang seperti itu. Berarti dia sudah bohong," ujar Saor, dikutip dari Kompas.com.

Ia pun mengaku mendapat info adanya penolakan pegawai KPK itu dari Penasihat KPK M Tsani Annafari.

Tsani pun mengakui adanya penolakan tersebut.

Menurut Tsani, penolakan itu menunjukkan, para pegawai KPK tak mau dipimpin oleh seseorang yang bermasalah.

"Bayangkan saja kalau orang yang belum masuk saja sudah ada mosi 500 pegawai yang tidak percaya, kemudian masuk, kalau itu jadi 1.500 gimana? Mau rekrutmen semua pegawai?" kata Tsani.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengaku belum tahu adanya penolakan itu.

Namun, Saut berpendapat, para pegawai berhak memiliki pendapat atas calon pimpinannya.

"Di perusahaan-perusahaan dengan manajemen besar itu juga karyawannya juga ditanya pemimpin seperti apa yang mereka mau, itu biasa," kata dia.

 Baca: Jadwal Lengkap MotoGP -Siaran Langsung Seri ke-13 MotoGP 2019 San Marino,Jadwal Mulai Jumat Hari Ini

Baca: BABAK BARU Hotman Paris Jawab, Apa Perseteruan Disetting? Berselisih dengan Farhat Abbas dan Andar

DAFTAR Kelima capim KPK terpilih

TRIBUN-MEDAN.com - Komisi III DPR RI menetapkan Irjen Pol Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) periode 2019-2023.

Hal tersebut ditetapkan dalam Rapat Pleno Komisi III di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/9/2019) dini hari.

"Berdasarkan diskusi, musyawarah dari seluruh perwakilan fraksi yang hadir menyepakati untuj menjabat Ketua KPK masa bakti 2019-2023 sebagai ketua adalah saudara Firli Bahuri," ujar Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin saat memimpin rapat.

Sebelumnya, pemilihan lima calon pimpinan dilakukan melalui mekanisme voting setelah tahap uji kepatutan dan kelayakan di ruang Komisi III.

Sebanyak 56 anggota Komisi III yang mewakili seluruh fraksi ikut memberikan hak suaranya.

Kapolda Angkat Bicara, Siswa Taruna Kritis di RS Korban dugaan Kekerasan Masa Orientasi Sekolah (MOS). Foto:Kapolda Sumsel Irjen Pol Firli
Kapolda Sumsel Irjen Pol Firli (sripo/mgs)

Masing-masing anggota memilih dengan cara melingkari 5 nama dari 10 capim. Setelah itu mekanisme voting dilakukan untuk memilih ketua KPK.

Kelima capim KPK terpilih tersebut adalah

1. Nawawi Pomolango, jumlah suara 50

2. Lili Pintouli Siregar, jumlah suara 44

3. Nurul Ghufron, jumlah suara 51

4. Alexander Marwata, jumlah suara 53

5. Firli Bahuri, jumlah suara 56

Kontroversi

Nama Firli Bahuri sebelumnya menuai kontroversi karena mendapat penolakan sejumlah pihak, termasuk dari internal KPK.

KPK bahkan menyatakan bahwa Irjen Firli yang merupakan mantan Deputi Penindakan KPK telah melakukan pelanggaran etik berat.

Sembilan Panitia seleksi (Pansel) Pimpinan KPK diterima Presiden Jokowi di Istana Negara beberapa waktu lalu.
Sembilan Panitia seleksi (Pansel) Pimpinan KPK diterima Presiden Jokowi di Istana Negara beberapa waktu lalu. (Biro Setpres/Kris)

Menurut Penasihat KPK Muhammad Tsani Annafari, Firli Bahuri melakukan pelanggaran hukum berat berdasarkan kesimpulan musyawarah Dewan Pertimbangan Pegawai KPK.

"Musyawarah itu perlu kami sampaikan hasilnya adalah kami dengan suara bulat menyepakati dipenuhi cukup bukti ada pelanggaran berat," kata Tsani dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (11/9/2019). Tsani mengatakan, pelanggaran etik berat yang dilakukan Firli itu berdasarkan pada tiga peristiwa.

Pertama, pertemuan Irjen Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi pada 12 dan 13 Mei 2019. Padahal, saat itu KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.

Firli tercatat pernah menjadi Kapolda NTB pada 3 Februari 2017 hingga 8 April 2018, sebelum menjadi Deputi Penindakan KPK.

Kedua, Firli melanggar etik saat menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK Pada 8 Agustus 2018.

Ketiga, Fili pernah bertemu petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018.

Konpers yang dilakukan KPK itu kemudian menuai polemik. Sebab, salah satu pimpinan KPK, Alexander Marwata, menyatakan bahwa pengumuman pelanggaran etik Firli tidak disetujui mayoritas pimpinan.

Pernyataan Alexander itu kemudian dibantah Ketua KPK Agus Rahardjo.

Menurut Agus, pengumuman itu telah disetujui mayoritas pimpinan KPK.

Tanggapan

Firli mengakui bahwa dia bertemu Zainul Majdi atau akrab disapa Tuan Guru Bajang ( TGB) pada 13 Mei 2018.

Namun, ia membantah adanya pembicaraan terkait penanganan kasus.

Firli mengaku sudah sejak lama mengenal TGB.

Saat ia masih menjabat sebagai Kapolda NTB, anak TGB yang bernama Aza juga telah akrab dengannya.

Mahfud MD Bilang Buat Surat Presiden ke DPR 

Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, angkat bicara tentang surat presiden (surpres) yang dikirim ke DPR RI terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mahfud MD menilai aneh Presiden Jokowi sampai mengeluarkan surpres terkait pembahasan revisi UU KPK yang diajukan DPR yang masa kerjanya tinggal beberapa hari.

Menurut Mahfud MD, masa kerja dewan periode saat ini tinggal menghitung hari (tersisa 20 hari), sementara Presiden memiliki waktu sampai 60 hari untuk mengeluarkan surpres.

"Terkait keputusan DPR tanggal 5-9-2019 tentang usulan inisiatif Revisi UU-KPK, akan menjadi sangat aneh jika Presiden membuat surpres persetujuan pembahasan kepada DPR yang sekarang," ujar Mahfud MD melalui akun twitternya.

Menurut Mahfud MD, berdasarkan ketentuan yang ada, Presiden memiliki waktu hingga 60 hari untuk menyikapi surat DPR terkait revisi UU KPK tersebut.

"Padahal, DPR yang sekarang masa tugasnya tinggal 20 hari," ujar Mahfud MD.

Baca: Cerita Sebenarnya di Balik Video Viral Xanana Gusmao Cium Kening BJ Habibie

Baca: Usai Mendaftar ke PDIP, Wakil Bupati Simalungun Amran Sinaga Incar Partai Islam

Baca: BJ Habibie Merasa Terhina dengan Surat PM Australia John Howard, Picu Pelepasan Timtim dari NKRI

Ketentuan Presiden memiliki waktu 60 hari memiliki alasan rasional.

Sebab, sebelum surpres dikeluarkan, di internal lembaga eksekutif harus ada dulu kajian yang mendalam oleh kementerian terkait.

"Tim dari kementerian harus mengkaji draft RUU dan menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Setelah itu baru Surpres," kata Mahfud MD melalui Twitter, Sabtu (7/9/2019).

Inilah kultwit Mahfud MD terkait revisi UU KPK.

@mohmahfudmd: Terkait keputusan DPR tgl 5-9-2019 ttg usul inisiatif Revisi UU-KPK akan menjadi sangat aneh jika Presiden membuat surpres persetujuan pembahasan kpd DPR yg skrng.

Mnrt ketentuan Presiden diberi waktu sekitar 60 hr utk menyikapinya; pd-hal DPR yg skrng masa tugasnya tinggal 20 hr

@mohmahfudmd: Waktu 60 hr yg diberikan kpd Presiden adl rasional sebab sblm surpres dikeluarkan di internal lembaga Eksekutif hrs ada dulu kajian yang mendalam oleh kementerian.

Tim dari kementerian hrs mengkaji draft RUU dan menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Stlh itu baru Surpres

Cuitan Mahfud MD itu disampaikan sebelum Surpres Presiden Jokowi dikirimkan kepada DPR.

Adapun surpres terkait revisi UU KPK dikirim ke DPR pada Rabu (11/9/2019).

"Supres RUU KPK sudah ditandatangani oleh Bapak Presiden dan sudah dikirim ke DPR pagi tadi," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Menurut Pratikno, daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan dalam Supres, banyak merevisi draf RUU tentang KPK yang diusulkan DPR.

Baca: Politikus PDIP Masinton Pasaribu Ajak Rekannya Loloskan Irjen Firli Bahuri Jadi Pimpinan KPK

Baca: BREAKING NEWS, Bobby Nasution Ambil Formulir Penjaringan Balon Wali Kota di PDI Perjuangan

Dikutp dari Wartakotalive.com, ketentuan pembuatan Surpres diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam UU No 12/2011 itu disebutkan Presiden memiliki waktu sampai 60 hari untuk menugasi menteri terkait guna membahas RUU bersama DPR.

Ayat 1 Pasal 49 UU No 12/2011: Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

Ayat 2 Pasal 49 UU No 12/2011: Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.

Ayat 3 Pasal 49 UU No 12/2011: Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Adapun isi Surpres Jokowi terkait Revisi UU KPK, yakni:

Merujuk surat Ketua DPR RI nomor LG/14818/DPR RI/IX/2019 tanggal 6 September 2019 hal penyampaian Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ini kami sampaikan bahwa kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut.

Baca: Hotman Paris Bocorkan Jumlah Honor Elza Syarief saat Syuting di Acara Hotman Paris Show

Baca: Kisah Mobil Kesayangan BJ Habibie Mercedes Benz 300 SL Coupe Sangkut di Pohon hingga Diberi Sajen

Tanggapan KPK

Terkait surpres tersebut, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bila revisi UU KPK lolos menjadi UU, maka nama KPK mestinya harus diubah.

Agus Rahardjo mengemukakan hal tersebut karena berdasar usulan Komisi III DPR, KPK tidak lagi menjadi lembaga negara yang menindak korupsi, namun hanya mencegah tindakan itu terjadi.

"Ya mungkin yang paling sederhana, singkatannya harus diubah (jadi) Komisi Pencegahan Korupsi," kata Agus Rahardjo kepada wartawan, Kamis (12/9/2019).

Sebab, menurut Agus Rahardjo, dalam usulan DPR, penyadapan yang dilakukan KPK harus berdasarkan persetujuan dewan pengawas.

Padahal, penindakan kasus korupsi bisa dilakukan dengan dua cara.

Salah satunya, dengan melakukan penyadapan, laporan masyarakat, atau operasi tangkap tangan (OTT).

Penyadapan pun dilakukan untuk pengembangan kasus dalam case building.

Dari pengalaman KPK, dari kasus besar, lembaga negara itu mengembangkan kasus melalui penyelidikan, salah satunya dengan penyadapan.

Karena itu untuk bisa lepas dari jerat korupsi, lanjut Agus Rahardjo, seharusnya DPR membenahi UU Tipikor ketimbang merevisi UU KPK.

Apalagi, KPK dalam tugasnya bertumpu pada UU Tipikor.

"Ini yang harusnya kita memperbarui agenda (penindakan) korupsi kita dengan perbaikan UU Tipikor, tapi ini kok malah side back," ucapnya.

Baca: BREAKING NEWS Bripka Joel Gultom Berdarah-darah hingga Kritis Dipukuli Sekelompok Pemuda di Siantar

Baca: Alexander Marwata Bongkar Rahasia Dapur KPK, Penetapan Tersangka Berdasarkan Voting 5 Pimpinan

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif merespons surpres tersebut dengan penuh kekecewaan.

"Yang dikhawatirkan oleh KPK akhirnya tiba juga. Surat Presiden tentang Persetujuan Revisi UU KPK telah dikirim ke DPR."

"KPK pun tidak diinformasikan pasal-pasal mana saja yang akan diubah. Apakah adab negeri ini telah hilang?" kata Laode M Syarif kepada wartawan, Kamis (12/9/2019).

Tindakan selanjutnya, ujar Laode M Syarif, pimpinan KPK akan minta bertemu pemerintah dan DPR. Mereka ingin meminta penjelasan terkait masalah ini.

"KPK juga menyesalkan sikap DPR dan pemerintah yang seakan-akan menyembunyikan sesuatu dalam membahas revisi UU KPK ini."

"Tidak ada sedikit transparansi dari DPR dan pemerintah. Ini preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia. DPR dan pemerintah berkonspirasi diam-diam untuk melucuti kewenangan suatu lembaga tanpa berkonsultasi. Atau sekurang-kurangnya memberitahu lembaga tersebut tentang hal-hal apa yang akan direvisi dari undang-undang mereka. Ini jelas bukan adab yang baik," tutur Laode M Syarif.

Laode M Syarif justru mengkhawatirkan cara seperti ini juga bakal menimpa lembaga lainnya. "Sebagai ilustrasi, mungkinkah DPR dan pemerintah akan melakukan hal seperti ini pada lembaga lain, seperti kepolisian atau kejaksaan atau lembaga-lembaga lain?" Tanyanya.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, surpres telah dikirim pada Rabu (11/9/2019) kemarin. Pemerintah, kata dia, telah merevisi draf daftar isian masalah (DIM) revisi UU KPK yang diterima dari DPR.

"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR. Intinya bahwa nanti Bapak Presiden jelaskan detail seperti apa," kata Pratikno.

Revisi DIM, menurut Pratikno, agar tidak mengganggu independensi KPK. Namun, ia tak menjelaskan lebih lanjut mengenai DIM versi pemerintah.

Menurutnya, Jokowi berkomitmen menjadikan KPK independen dalam pemberantasan korupsi, sehingga punya kelebihan dibanding lembaga lainnya.

"Sepenuhnya Presiden akan jelaskan lebih detail. Proses saya kira sudah diterima DPR," katanya. 

(*)

Baca: Jadwal Lengkap MotoGP -Siaran Langsung Seri ke-13 MotoGP 2019 San Marino,Jadwal Mulai Jumat Hari Ini

Baca: BABAK BARU Hotman Paris Jawab, Apa Perseteruan Disetting? Berselisih dengan Farhat Abbas dan Andar

Tautan Artikel: Irjen Firli Bahuri Terpilih sebagai Ketua KPK Periode 2019-2023 ,  Tribunnews.com,  Kompas.com dan wartakota.tribunnews.com

Baca: BERITA KESEHATAN: Cara Mengatasi Kebiasaan Mengantuk Berlebihan, Inilah Makanan yang Baik Dikonsumsi

Baca: MENKEU SRI MULYANI Ungkap Program Seminar hingga Meeting Ecek-ecek, WTP Bukanlah Tujuan Akhir

Akhirnya Terungkap 3 Keinginan Jokowi Ngotot Mau Revisi UU KPK, Mahfud MD Anggap Aneh Surat Presiden

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved