Berkah Hutan Mangrove, Penopang Ekonomi Warga Bagan Serdang di Tengah Pandemi

“Seluruh pendapatan akan masuk ke kas kelompok. Siapa anggota yang terlibat akan diberikan honor sesuai dengan beban kerjanya,” kata Rahmadsyah.

Risky Cahyadi / Tribun Medan
Sejumlah perempuan yang tergabung dalam Kelompok Eco Woman mengolah daun mangrove jeruju menjadi produk kerupuk di rumah Kelompok Eco Woman, Desa Bagan Serdang, kecamatan Pantai Labu, Deliserdang, Kamis (15/10/2020). 

Sedangkan Kelompok Eco Woman bertanggungjawab mengolah produk makanan dan minuman berbahan dasar mangrove dan dipasarkan kepada warga, pengunjung ekowisata hutan mangrove, dan para pemesan.

“Saat ini jumlah anggota kami 40 orang dari tiga dusun di Desa Bagan Serdang. Khusus untuk Kelompok Eco Woman ada 14 orang dan sisanya ada di Pok Darwis dan Pok Darling,” kata Rahmadsyah.

Ekowisata Mangrove Bagan Serdang buka setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 08.00-18.30 WIB. Setiap pengunjung dikenakan biaya retribusi Rp 5.000 per pengunjung. Di masa awal berdiri, kata Rahmadsyah, kondisi kawasan ekowisata sangat sederhana. Hanya ada wisata pantai, hutan mangrove dan belasan pohon cemara di pinggir pantai. Tidak ada fasilitas pendukung seperti spot selfie, pondok untuk bersantai, maupun kamar mandi.

Melalui program CSR, Pertamina ikut mendampingi Kelompok Tani Hutan  Hijau Mekar dalam mengelola kawasan wisata. Pertamina juga ikut membantu menyediakan beberapa fasilitas seperti: gapura, taman, jembatan setapak di atas pantai, penahan ombak dari bambu, pondok, kamar mandi, dan penerangan di sekitar pantai.

Diakui Rahmadsyah, keberadaan fasilitas pendukung ini cukup berdampak terhadap keberadaan kwasan ekowisata. Setiap minggunya, jumlah pengunjung yang datang mengalami peningkatan. Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemasukan dari retribusi dan penjualan produk makanan dan minuman berbahan dasar mangrove antara Rp 5 juta hingga Rp 7 juta setiap hari. Tetapi di masa pandemi Covid-19 pendapatan menurun drastis. Setiap harinya, Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar hanya mampu meraup Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu.

“Ditutupnya banyak tempat wisata ikut berdampak ke ekowisata mangrove. Tempat wisata ini bahkan sempat tutup beberapa minggu,” kata Rahmadsyah.

Sehubungan dengan diberlakukannya Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) di masa pandemi, ekowisata mangrove pun dibuka kembali tetapi dengan menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah. “Sudah ada yang datang kembali, tetapi masih bisa dihitung dengan jari. Masyarakat sepertinya masih memilih untuk menjaga jarak dan tinggal di rumah,” ujarnya.

Rahmadsyah mengakui, keberadaan hutan mangrove telah memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi warga Desa Bagan Serdang. Selain manfaat dari sisi lingkungan  yang mencegah intrusi air laut, mencegah erosi dan abrasi pantai , manfaat ekonomi juga turut dirasakan warga.

Dari sisi ekonomi, setiap akhir pekan warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar sudah punya pendapatan tambahan selain pendapatan dari pekerjaan sehari-hari mereka sebagai petani dan nelayan. Anggota kelompok berbagi tugas mulai dari membagikan tiket, mengatur parkir, hingga menyewakan sampan.

Khusus para perempuan yang tergabung dalam Kelompok Eco Woman yang selama ini tidak bekerja, sudah menjadi perempuan yang produktif karena ikut dalam program-program kelompok. Perempuan-perempuan Kelompok Eco Woman juga terlibat saat kawasan ekowisata mangrove dibuka mulai dari menjual produk makanan dan minuman berbahan dasar mangrove, menjual makanan dan minuman lainnya dan memasak makanan pesanan pengunjung.

“Seluruh pendapatan akan masuk ke kas kelompok. Siapa anggota yang terlibat akan diberikan honor sesuai dengan beban kerjanya,” kata Rahmadsyah.

Suasana kawasan ekowisata mangrove di Desa Bagan Serdang, kecamatan Pantai Labu, kabupaten Deliserdang. Di kawasan ini terhampar ratusan hektar hutan mangrove dan pantai dengan pasirnya yang putih. (M Anil / Tribun Medan)
Suasana kawasan ekowisata mangrove di Desa Bagan Serdang, kecamatan Pantai Labu, kabupaten Deliserdang. Di kawasan ini terhampar ratusan hektar hutan mangrove dan pantai dengan pasirnya yang putih. (M Anil / Tribun Medan)

Dikatakan Rahmadsyah, keberadaan hutan mangrove menjadi berkah bagi warga desa. Hutan mangrove menjadi penopang ekonomi warga sejak tahun 2008 lalu. Meskipun di masa pandemi Covid-19 ini, perekonomian masih sulit, tetapi pihaknya yakin hutan mangrove masih akan berperan menjadi penopang ekonomi warga.

“Seiring diberlakukannya Adaptasi Kebiasaan baru (AKB), kawasan ekowisata mangrove ini siap untuk menerima kembali pengunjung. Kami siap menerapkan protokol kesehatan terkait dibukanya kembali tempat wisata di masa pandemi Covid-19. Kami yakin, hutan mangrove tetap berperan menjadi penopang ekonomi warga di Desa Bagan Serdang,” katanya.

Rahmadsyah berharap, kedepannya, keberadaan Kelompok Tani Hutan Hijau Mekar tidak hanya bermanfaat bagi anggota-anggotanya saja, tetapi juga warga lainnya di Desa Bagan Serdang. “Kami tetap membuka kesempatan bagi seluruh warga desa untuk bergabung dengan kelompok. Mari, bersama-sama kita menjaga kelestarian hutan mangrove dan memanfaatkan potensi hutan mangrove untuk kemajuan ekonomi kita,” katanya.(top/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved