Kisah Para Reksa Bahasa, Agar Aksara Batak Toba Tak Lekang Ditelan Zaman

Sebagai warisan budaya, Aksara Batak Toba diperkenalkan kepada generasi muda (khususnya pelajar) sebagai pelajaran Muatan Lokal.

TRIBUN MEDAN/TRULY OKTO PURBA
SEORANG siswa SMA HKBP Sidorame Medan sedang mengerjakan tugas Aksara Batak Toba di buku pelajarannya. Sebagai warisan budaya, Aksara Batak Toba diperkenalkan kepada generasi muda (khususnya pelajar) sebagai pelajaran Muatan Lokal. 

Meski hanya juara III, Jeremia mengaku tak hanya merasa bangga, tetapi juga sangat berkesan karena juara I dan II lomba tersebut adalah mahasiswa Program Studi Sastra Batak Universitas Sumatera Utara (USU). “Mereka (mahasiswa) sudah ahli-ahlinya, belajar aksara Batak Toba setiap hari,” kata Jeremia, dan kemudian tersenyum.

Jeremia tak sendirian meraih juara di lomba tersebut. Teman sekolahnya, Gunawan Gaurifa yang bersuku Nias kebagian juara harapan III. “Saya senang sekali, meski hanya kebagian juara III. Bagi saya yang bersuku Nias, prestasi ini sangat berkesan,” kata Gunawan.

Hampir sembilan tahun mempelajari aksara Batak Toba, Jeremia mengaku dirinya tak menemukan kesulitan lagi untuk membaca dan menulis aksara Batak Toba. Justru saat ini, hal sulit yang dirasakannya adalah mempelajari budaya Batak Toba seperti marga-marga Batak Toba, kain tradisional Batak Toba (ulos), Dalihan Na Tolu (hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok), hingga ke tari tradisional Batak Toba (tor-tor).

“Bagi saya pribadi, topik yang cukup sulit dipelajari di aksara Batak Toba saat ini ya soal budaya. Mempelajari sejarah marga saya hingga saya tahu nomor (urutan) berapa dalam silsilah Sihotang sudah cukup sulit, belum lagi harus memahami Sihotang itu bersaudara dengan marga apa, atau Sihotang tidak boleh menikah dengan marga apa, pasti makin sulit,” kata Jeremia dan kemudian tertawa.

Terkait  pelajaran budaya Batak Toba ini, guru Muatan Lokal Aksara Batak Toba SMA HKBP Sidorame Medan, Tiar Simanjuntak mengatakan, hal tersebut menjadi keistimewaan aksara Batak Toba. Jika banyak pihak yang beranggapan kalau aksara Batak Toba hanya belajar menulis dan membaca saja, itu anggapan yang keliru.

Dikatakan Tiar, anak-anak (siswa) bisa menulis dan membaca aksara Batak Toba bukanlah tujuan satu-satunya. Tetapi lewat pelajaran ini, sekolah berkeinginan agar anak-anak juga mengerti budayanya yang lain seperti adat istiadat, silsilah, hingga ke Dalihan Na Tolu.

Untuk silsilah misalnya, siswa yang bersuku Batak Toba wajib tahu dirinya di nomor berapa dalam silsilah. Ketika sudah diajarkan tentang silsilah ini, siswa menanyakan kepada orangtuanya, mereka berada di nomor berapa. Kalau tidak tahu, mereka bisa bertanya kepada orang-orang tua di kampung halaman mereka (orangtuanya).

Untuk urusan kain tradisional Batak (ulos), siswa diberikan pengetahuan tentang jenis-jenis ulos dalam suku Batak Toba dan fungsinya. Tiap ulos dalam tradisi Batak Toba memiliki makna dan cara pemakaian yang khas. Hal ini menjadi bukti bahwa dalam selembar ulos terkandung nilai-nilai kebudayaan Batak Toba.

“Hal-hal seperti ini (silsilah marga atau ulos) adalah hal yang cukup sering muncul dalam kehidupan orang Batak Toba. Tetapi seiring perkembangan zaman, semakin banyak dilupakan. Jadi lewat Muatan Lokal Aksara Batak Toba ini, kami ingin siswa tak sampai melupakan budayanya sendiri,” kata Tiar.

Tiar yang juga mengajarkan aksara Batak Toba di SMP HKBP Jalan Kampar Medan Belawan ini mengatakan, siswa yang diajarinya selama ini sangat antusias mempelajari Aksara Batak Toba. Hal ini dikarenakan tidak banyak sekolah yang mengajarkan pelajaran Aksara Batak Toba di kota Medan, apalagi jika mengingat Medan sebagai kota besar dengan beragam suku. Beda halnya kalau di kabupaten-kabupaten yang etnis Batak Tobanya mayoritas di Sumatera Utara seperti Humbang Hasundutan, Toba, Samosir dan Tapanuli Utara, Aksara Batak Toba diajarkan di banyak sekolah.

“Selama 15 tahun mengajar aksara Batak Toba, sepertinya hanya sekolah ini yang punya Mualatan Lokal Aksara Batak Toba. Ini yang membuat siswa-siswa antusias. Mereka punya keunikan sendiri yang tak dimiliki siswa dari sekolah lain. Mata pelaaran lain seperti Matematika, Bahasa Inggris atau Pancasila pasti ada sekolah, tetapi kalau Aksara Batak Toba tak semua sekolah punya,” terang Tiar.

Penelusuran Tribun-Medan.com membenarkan pernyataan Tiar Simanjuntak. Dari 21 SMA negeri di Medan, tidak satupun yang mengajarkan aksara Batak Toba. Hal yang sama juga berlaku di banyak sekolah SMA swasta lainnya. Karena ditempatkan sebagai mata pelajaran Muatan Lokal, pihak sekolah memang diberikan kewenangan untuk mengembangkan sendiri kearifan lokal di daerahnya sebagai mata pelajaran Muatan Lokal.

Faktor pandemi Covid-19, kata lulusan Sastra Batak USU ini, sangat berdampak kepada keefektifan pelajaran aksara Batak Toba. Pelajaran ini menjadi sulit disampaikan karena saat ini pembelajaran dilakukan secara daring. Sama halnya dengan pelajaran yang bersifat hitungan, kata Tiar, Aksara Batak Toba sebaiknya diajarkan secara langsung (tatap muka), karena induk surat dan anak surat dalam aksara Batak Toba harus dijelaskan secara langsung.

“Untuk mengakalinya, sesekali saya minta siswa datang ke sekolah secara berkelompok dalam jumlah kecil, lima orang misalnya. Saya berikan penjelasan lebih rinci. Untuk pelajaran berikutnya, saya kirimkan lewat WhatApp atau Google Class Room,” ujarnya.

Kepala Sekolah SMA HKBP Sidorame Medan, Noralice Simbolon mengatakan, sebagai sekolah yang dimiliki gereja HKBP yang seluruh jemaatnya adalah etnis Batak Toba menjadi faktor dipilihnya aksara Batak Toba sebagai Muatan Lokal di sekolah. Meski demikian, tak semua sekolah milik HKBP di Medan yang mengajarkan aksara Batak Toba.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved