Kisah Para Reksa Bahasa, Agar Aksara Batak Toba Tak Lekang Ditelan Zaman
Sebagai warisan budaya, Aksara Batak Toba diperkenalkan kepada generasi muda (khususnya pelajar) sebagai pelajaran Muatan Lokal.
Penulis: Truly Okto Hasudungan Purba | Editor: Juang Naibaho
Soal bahasa daerah (bahasa ibu) yang seharusnya digunakan di pendidikan dasar juga disampakaikan Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara, Maryanto. Maryanto mengatakan, kenapa bahasa daerah yang seharusnya digunakan karena bahasa daerahlah yang melekat dan hidup dengan kehidupan mereka sejak lahir.
Dikatakan Maryanto, ada filosofi yang menyebut kalau bahasa ibulah yang harus didahulukan, termasuk dalam pendidikan dasar. Dengan filosofi ini, tentu saja Muatan Lokal Bahasa Daerah setempat bisa diberikan di pendidikan dasar.
“Tapi kita sudah salah kaprah. Muatan Lokal yang diajarkan malah bahasa asing. Mohon maaf dan harus kita luruskan, Muatan Lokal itu adalah ciri khas yang betul-betul ada di daerah itu. Kalau Muatan Lokal diambil dari daerah lain, maka akan mencabut posisi anak dari akarnya (ibunya),” kata Maryanto, Jumat (5/2/2021).
Maryanto menjelaskan, dari kondisi ini dan mengikuti anjuran UNESCO bahwa pendidikan SD kelas rendah (I dan II) menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa pengantar di sekolah, Balai Bahasa Sumatera Utara dengan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat merintis program Penerapan Muatan Lokal Tematik Terpadu Berbahasa Melayu dan Batak Toba. Untuk tahap awal, program ini akan dijalankan di Kabupaten Toba Samosir dan Tapanuli Utara sebagai daerah dengan mayoritas etnis Batak Toba.
Melalui program ini, nantinya siswa SD kelas I dan II di Kabupaten Toba Samosir dan Tapanuli Utara akan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar saat belajar. Termasuk tulisannya pun akan menggunakan ejaan Batak Toba, tetapi bukan aksara Batak Toba. “Kalau aksara belum memungkinkan untuk diberikan kepada siswa kelas I dan II,” kata Maryanto.
Selain tidak memungkinkan, kata Maryanto, program penerapan ini dipilih karena faktor efisiensi. Artinya, sekolah tak perlu merekrut guru baru yang khusus mengajarkan aksara Batak Toba. Kalau harus merekrut guru baru, tentu saja dibutuhkan anggaran baru dan pembuatan kurikulum lagi. Selain itu, dari secara fisik dan psikis, siswa tidak terbebani dengan banyaknya pelajaran.
“Dengan program ini yang tetap mengacu kepada sistem tematik, guru-guru di program ini tetap sama, hanya penyampaian bahasanya saja yang berbeda, dari Bahasa Indonesia menjadi Batak Toba. Siswa pun tidak merasa ilmunya jauh, karena bahasa daerah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan difungsikan kembali dalam aktivitas belajar mereka,” kata Maryanto.
Untuk mendukung penerapan program ini, Balai Bahasa Sumatera Utara telah menyiapkan Muatan Lokal Tematik Terpadu yang disesuaikan dengan kerangka Kurikulum Terpadu 2013. “Penerapan program ini memang menjadi tantangan tersendiri bagi kita karena program ini belum pernah dijalankan di Sumatera Utara. Ini rintisan pertama. Diharapkan tahun ini, sudah mulai berjalan,” ujar Maryanto.

Tertinggal dari Negara Lain
PLT Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Lasro Marbun mengatakan, dibandingkan negara-negara lain yang memiliki aksara seperti Jepang, China, Korea, India dan Rusia, maka posisi Indonesia masih dalam hal pelestarian aksara daerah masih tertinggal.
“Secara umum kita harus jujur mengakui bahwa kita masih perlu mempercepat kepedulian terhadap basis kepribadian kita. Apa basis kepribadian itu? Salah satunya budaya daerah. Budaya adalah kepribadian kita,” kata Lasro.
Lasro menjelaskan, salah satu unsur dari budaya adalah aksara, dan tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan aksara daerah. Keberadaan aksara daerah ini sinkron dengan pembangunan bangsa dalam kerangka NKRI dengan segala tiang penyangganya seperti Bhinneka Tunggal Ika, gotong royong, Pancasila dan UUD 1945.
Melihat posisi ini, kata Lasro, maka menjadi kewaiban setiap warga negara Indonesia termasuk tingkat pemerintahan untuk mengembangkan budaya yang salah satunya adalah aksara. “Terkait hal ini, Pemprov Sumut dipastikan mendukung pembangunan budaya dalam hal aksara daerah tersebut,” katanya.
Namun, kata Lasro, mengingat UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang konkuren (urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota), maka dalam konteks pendidikan urusan pemerintahan juga dibagi di mana pendidikan dasar menjadi wilayah kabupaten dan kota, pendidikan menengah dan khusus di provinsi dan pendidikan tinggi di pusat.
Ada Rasa Bangga, Ada Rasa Khawatir
GURU Muatan Lokal Aksara Batak Toba SMA HKBP Sidorame Medan, Tiar Simanjuntak mengatakan, selama lebih dari 15 tahun mengajarkan Aksara Batak Toba di beberapa sekolah di kota Medan, dirinya dipertemukan dengan sebuah rasa bangga karena punya kesempatan mengajarkan aksara Batak Toba sebagai warisan budaya etnis Batak Toba kepada generasi muda.
Rasa bangga pun disematkan Tiar kepada pihak sekolah dan gereja HKBP yang tetap mempertahankan pelajaran ini dan kepada siswa-siswa yang tetap tekun mempelajari Aksara Batak Toba.
Sebagai bagian dari budaya (ugari) etnis Batak Toba, Tiar mengatakan keberadaan aksara Batak Toba harus dijaga dan dilestarikan. Dan selama puluhan tahun, mereka mampu menjadi reksa (penjaga) Aksara Batak Toba di lingkungan mereka. Begitupun, Tiar berharap harus lebih banyak lagi berbagai pihak yang hadir untuk menjaga warisan budaya ini ke depannya.
“Saya berharap keberadaan pelajaran aksara Batak Toba dan aksara-aksara daerah lainnya bisa diperkenalkan lebih luas lagi kepada generasi muda di berbagai institusi pendidikan,” kata Tiar.
Namun dibalik rasa bangganya, Tiar juga mengaku cemas kalau 10 tahun ke depan, aksara Batak Toba akan hilang di telan zaman, karena tak ada lagi generasi muda yang mempelajarinya. Di zaman yang semakin modern yang ditandai dengan banyaknya budaya dari luar yang mengiringi perjalanan hidup generasi muda, tanda-tanda hilang di telan zaman itu sebenarnya mulai terlihat. Banyak generasi muda Batak Toba yang sekarang lebih paham joget TikTok dibanding menari tor-tor Batak Toba.
“Budaya itu kekayaan sekaligus identitas kita sebagai orang Batak Toba. Generasi mudalah yang menjadi penerusnya. Kalau sejak dini tak diajarkan, akan hilanglah identitas ini. Bagi institusi pendidikan yang memungkinkan untuk menjadikan aksara Batak Toba sebagai Muatan Lokal, sangatlah dianjurkan untuk memasukkannya di sekolah. Dengan begitu semakin banyak lahir reksa-reksa Aksara Batak Toba dan budaya ini tak lekang ditelan zaman,” katanya.
Hal senada disampaikan Kepala Sekolah SMA HKBP Sidorame Medan, Noralice. Menurutnya, Aksara Batak Toba adalah anugerah Tuhan yang sangat berharga dan tidak banyak etnis di Indonesia dan dunia yang memilikinya. Sebagai anugerah Tuhan, maka keberadaan aksara Batak Toba wajib dilestarikan.
“Sekolah kami antusias dengan aksara Batak Toba ini dan berupaya agar Muatan Lokal ini tetap ada di sekolah ini. Kami terus memotivasi siswa dengan berbagai metode pembelajaran yang kreatif agar pelajaran aksara Batak Toba menjadi pelajaran yang menarik untuk siswa dan mereka semangat mempelajarinya. Sekolah kami juga terbuka melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan dan melestarikan aksara Batak Toba,” kata Noralice.
Sedangkan Staf Pengajar Sastra Batak FIB USU, Jamorlan Siahaan berpandangan, agar aksara Batak Toba dan aksara daerah lainnya tetap lestari, maka pendidikan di Indonesia harus terbuka terhadap keberadaan aksara daerah ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai perwakilan pemerintah yang mengurusi pendidikan dapat mengeluarkan payung hukum agar aksara daerah menjadi mata pelajaran Muatan Lokal.
“Jadi bentuk penyelamatannya dengan membuat Muatan Lokal Aksara Daerah. Kalau daerahnya mayoritas Melayu, diajarkan Aksara Melayu. Kalau daerahnya mayoritas etnis Batak Toba, diajarkan Aksara Batak Toba,” katanya.
Terkait pendidikan aksara daerah ini, Plt Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Lasro Marbun mengatakan dapat diberikan di tingkat pendidikan dasar. Dengan begitu, kewenangannya ada di kabupaten dan kota yang dapat diwujudkan dengan memberikan mata pelajaran Muatan Lokal. Tentunya setelah melihat karakteristik daerah dan political will pemerintah kabupaten dan kota.
“Dengan kewenangan ini, nantinya provinsi berada dalam posisi koordinasi dukungan. Ini posisi paling bawah. Setelah itu provinsi dapat hadir langsung dalam memberikan dorongan dan dukungan fasilitas,” ujar Lasro.
Melihat kelemahan bangsa dan rakyat Indonesia dalam melestarikan daerah, Lasro menilai sudah seharusnya melakukan percepatan-percepatan agar keberadaan aksara daerah ini semakin dikenal dan dilestarikan.
Dibutuhkan perhatian serius dari komponen bangsa untuk melanggengkan Indonesia yang berasal dari keanakearagaman (kebhinnekaan) untuk menuju kesatuan dalam perjuangan dan rasa syukur.
“Masing-masing daerah yang mempunyai kearifan lokal sendiri dalam hal aksara dan budaya lainnya harus bangga dengan kekayaan tersebut dan memperkenalkannya sejak dini dalam pendidikan formal di keluarga dan dalam pendidikan formal di sekolah. Ini harus dilakukan sehingga kita semakin kokoh dengan kepribadian kita,” katanya.
Sementara itu Kepala Balai Bahasa Sumatra Utara, Maryanto mengatakan, terkait keberadaan sekolah di beberapa daerah yang mengajarkan Muatan Lokal Aksara Batak Toba, pihaknya sebagai perwakilan pemerintah pusat mendukung langkah tersebut dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.
“Dalam hal perlindungan bahasa ini, Balai Bahasa memperkuat fungsi koordinasi dengan pemerintah daerah. Kami memberikan dorongan kepada pemerintah daerah terus memelihara bahasa daerah, termasuk melalui keaksaraan. Kalau di kawasan Toba kami lihat sudah bagus. Nama-nama jalan dan nama gedung sudah pakai aksara daerah kemduain nama gedung. Tetapi Bahasa Indonesia tetap berada di bagian atas, lalu dibawahnya menggunakan aksara Batak toba,” katanya.
Maryanto menegaskan, bahasa daerah sudah ada sejak lama dan Indonesia dibangun tidak dengan Bahasa Indonesia saja. Indonesia terbangun dari banyak keragaman dan semua warga Indonesia harus menyadarinya.
“Kami berprinsip mempertahankan kedudukan bahasa negara dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari keberadaan bahasa daerah. Sebaliknya, mempertahankan bahasa daerah sama nilainya dengan mempertahankan kedudukan Bahasa Indonesia,” pungkasnya.
Digitalisasi Aksara Nusantara
UPAYA berbagai pihak untuk melestarikan aksara nusantara tak hanya dilakukan di tingkat daerah, tetapi juga di tingkat nasional. Satu diantaranya adalah Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI). Langkah yang dipilih PANDI adalah mendigitalisasikan aksara Nusantara ke dalam format internationalize domain name (IDN) yang bisa diakses dan dipergunakan di internet.
Ketua PANDI Yudho Giri Sucahyo, dalam keterangan persenya mengatakan bahwa keberadaan IDN di era digitalisasi saat ini dirasa penting, mengingat pertumbuhan pengguna internet dunia yang semakin pesat, ditambah masyarakat internet terbiasa memakai huruf Latin untuk menulis ataupun mengetik. Bukan tidak mungkin, ke depan aksara daerah di Indonesia akan punah.
"Kalau di Indonesia karena bahasa utamanya menggunakan tulisan Latin, makanya bahasa atau tulisan asli ibu yang jadi warisan Nusantara semakin hilang," katanya.
Terkait ini, kata Yudho, pihaknya merasa perlu membuat sebuah wadah agar bahasa ibu bisa terus dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satunya adalah program khusus bertajuk Merajut Indonesia Melalu Digitalisasi Aksara.
"Dari program tersebut diharapkan bisa melestarikan aksara nusantara yang sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat sekarang," katanya.
Untuk diketahui, PANDI sudah melakukan berbagai upaya digitalisasi aksara nusantara. Upaya ini dibantu pula oleh beberapa komunitas pegiat aksara, lembaga akademis, dan non-akademis, termasuk pemerintah.
Digitalisasi Aksara merupakan sebuah konversi dari aksara yang tertulis menjadi aksara yang bisa diakses dan digunakan di internet. Berdasarkan catatan PANDI, saat ini Indonesia tercatat memiliki 718 bahasa dengan 32 aksara nusantara. Namun belum semua terdigitalisasi.
“Dari 32 aksara daerah, baru tujuh aksara yang terdigitalisasi dan terdaftar di Unicode, yaitu aksara Jawa, Bugis, Sunda, Bali, Batak, Arab Jawa/Arab Pegon, dan aksara Rejang,” terang Yudho.
Yudho menegaskan, melalui program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (Mimdan), PANDI akan berupaya agar seluruh aksara yang ada di Indonesia di-digitalisasikan sehingga bisa dipergunakan di Internet melalui perangkat pintar seperti laptop, telfon genggam dan lainnya.(top/Tribun-Medan.com)