Kisah Para Reksa Bahasa, Agar Aksara Batak Toba Tak Lekang Ditelan Zaman
Sebagai warisan budaya, Aksara Batak Toba diperkenalkan kepada generasi muda (khususnya pelajar) sebagai pelajaran Muatan Lokal.
Penulis: Truly Okto Hasudungan Purba | Editor: Juang Naibaho
Dari 100-an siswa di SMA HKBP Sidorame Medan, 75 persen diantaranya beretnis Batak Toba, dan sisanya Karo, Simalungun, dan Nias. Selain jenjang SMA, Yayasan Pendidikan HKBP Sidomare Medan sebagai pengelola juga mengasuh jenjang SD dan SMP. Aksara Batak Toba pun pernah diajarkan di tingkat SD dan SMP, tetapi dengan beberapa pertimbangan, pihak yayasan meniadakan Muatan Lokal ini dijenjang SD dan SMP.
“Untuk kurikulum sendiri memang tidak ada yang baku dari Kementerian atau Dinas Pendidikan, jadi diberikan kebijakan ke sekolah untuk menyusunnya. Untuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sudah disusun oleh guru Muatan Lokal,” kata Noralice.
“Selama menjadi kepala sekolah, aksara Batak Toba ini tersampaikan dengan baik kepada siswa-siswa. Saya tak menemukan penolakan dari siswa. Mereka antusias mempelajarinya, Selain gurunya yang mampu membawakan pelajaran dengan baik, materi yang disampaikan dalam aksara Batak Toba ini sebenarnya ada di lingkungan siswa sendiri dan setiap hari mereka lihat,” kata Noralice.

Tak Sekadar Induk dan Anak Surat
AKSARA Batak terdiri dari dua bagian besar yakni induk surat dan anak surat. Induk surat belum mengalami perubahan anak surat dan berjumlah 19 induk surat (ina ni surat) yakni: a, ha, ma, na, ra, ta, sa, pa, la, ga, ja, da, nga, ba, wa, ya, nya, i, dan u. Sedangkan anak surat adalah bagian yang berfungsi menambah bunyi vocal, bunyi sengau, dan bunyi /h/ serta untuk mematikan bunyi /a/ perlu ditambah beberapa tanda diakritik (anak ni surat). Anak surat terdiri dari enam bagian yakni: Haluaan/Haluain, Haboruan/Haborotan, Hatadingan, Sikora/Siala, Peminggil/Hamisaran, dan Pangolat.
Melihat susunan pembagian aksara Batak Toba ini, Staf Pengajar Prodi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU, Jamorlan Siahaan menilai, aksara Batak Toba adalah ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari siapapun.
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, kata Jamorlan aksara Batak Toba pun tidak hanya belajar tentang 19 induk kalimat dan enam anak kalimat saja, tetapi lebih dari itu, ada kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Salah satu kearifan lokal itu adalah ilmu tentang obat-obatan tradisional yang ditulis dalam aksara Batak Toba oleh para leluhur zaman dulu di media lak-lak seperti kulit kayu, bambu, tulang atau tanduk kerbau.
“Kalau kita gali ilmu leluhur kita, maka tak ada penyakit sebenarnya. Dulu kan belum ada medis, semua obat-obatan herbal. Orang Batak sebenarnya punya herbal sendiri, tapi tidak mau belajar memanfaatkannya dan justru mengonsumsi obat-obat kimia. Semua ilmu tentang obat-obat herbal ini sudah ada di aksara Batak Toba dulunya. Kenapa tidak kita gali lebih jauh?,” kata Jamorlan, Jumat (5/2/2021)
Jamorlan mengatakan, dari sekian banyak ilmu-ilmu kearifan lokal dalam Aksara Batak yang tertulis dalam lak-lak, cukup banyak yang sudah dibaca dan diterjemahkan. Keberadaan orang-orang yang belajar aksara Batak Toba membuat keberadaan aksara Batak Toba bisa dibaca dan dimengerti saat ini. “Dan memang betul, isinya memang beragam ilmu kearifan lokal Batak Toba mulai dari adat istiadat, kalender Batak Toba dan pengobatan penyakit,” katanya.
Menjadi pengajar aksara Batak Toba sejak tahun 1987, Jamorlan mengakui, minat generasi muda untuk mempelajari aksara Batak Toba saat ini sangat jauh berkurang. Banyak etnis Batak Toba yang bahkan di kampung halamannya saja sudah berbahasa Indonesia. Banyak pula generasi muda Batak Toba yang tidak paham asal usulnya.
“Mereka tidak mengerti apa itu tulang (paman), namboru (bibi) dan hubungan kekerabatan lain. Bersyukurlah ada aksara Batak Toba, karena semua ini dipelajari. Tapi banyak generasi muda yang tidak mau belajar aksara Batak Toba, sementara di lingkungan terdekat mereka, misalnya di rumah pun, mereka juga tidak mendapat pengetahuan yang cukup tentang budaya di Batak Toba,” katanya.
Jamorlan juga memberikan catatan khusus terkait etnis Batak yang justru lebih memilih berbahasa Indonesia dalam aktivitas sehari-hari di kampung halaman. Pria berkacamata ini menarik kisahnya di masa lalu ketika ayahnya mengantarkannya mendaftar sekolah ke SD di desanya.
Jamorlan mengaku, saat itu dirinya sama sekali tak mengerti Bahasa Indonesia dan hanya paham bahasa Batak Toba. Saat di sekolah, kepala sekolah menanyakan namanya, jumlah saudara, nama ibu, dan nama ayahnya dalam bahasa Batak Toba.
Kalau sekarang sudah Bahasa Indonesia yang digunakan. Guru-guru yang mengajar di kelas I pun sudah langsung menggunakan Bahasa Indonesia. Padahal, seharusnya bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah. Pelajaran Matematika misalnya, dapat diajarkan dalam Bahasa Batak Toba. Kalaupun gurunya menggunakan Bahasa Inggris tak jadi masalah, tetapi Bahasa Batak Toba tetap digunakan.
“Saya khawatir, aksara Batak Toba ini nantinya akan lenyap beberapa tahun lagi, karena sudah banyak karena generasi muda di desa-desa sudah bahasa Indonesia. Mereka justru lebih suka berbahasa asing,” katanya.