Sidang Putusan Sorbatua Siallagan

Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan Ternyata Tersertifikasi di BRWA, Berikut Sejarah Singkatnya

Masyarakat adat Toba keturunan dari Raja Ompu Umbak Siallagan ternyata tersertifikasi oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). 

Penulis: Alija Magribi | Editor: Ayu Prasandi
HO
Sorbatua Siallagan, Tetua Adat Ompu Umbak Siallagan yang mendekam disel usai ditetapkan sebagai tersangka kasus pengrusakan dan penguasaan lahan hutan 

TRIBUN-MEDAN.com, SIMALUNGUN - Tetua Adat Ompu Umbak Siallagan direncanakan akan menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Simalungun, Rabu (14/8/2024).

Kakek yang mengklaim bahwa hutan yang berada di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan ini sebagai wilayah adat akan ditentukan nasibnya oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun. 

Sebagai informasi keberadaan Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan merupakan masyarakat adat Toba keturunan dari Raja Ompu Umbak Siallagan ternyata tersertifikasi oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). 

BRWA sendiri dibentuk tahun 2010 atas inisiatif Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), dan Sawit Watch (SW).

BRWA dibentuk karena data dan informasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat hasil pemetaan partisipatif tidak terdokumentasi secara baik. Selain itu, pemerintah juga selama ini tidak memiliki peta dan data sosial keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. 

BRWA dalam laporannya menyebut bahwa sejarah Masyarakat Bermarga Siallagan ini berasal dari Raja Ompu Umbak Siallagan yang mempunyai nama asli yaitu Tondur Siallagan.

Sebelum bermukim di Dolok Parmonangan, Tondur Siallagan bermukim di Huta Siallagan Ambarita di Samosir. 

"Sekitar tahun 1700-an, ia keluar dari Samosir untuk menjenguk Ibotona (Saudara perempuannya) yang bermukim di Huta Batu Nanggar yang diperistri oleh Marga Sinaga," bunyi laporan BRWA dalam laman resminya. 

Dalam perjalanan menuju Huta Batu Nanggar, Tondur Siallagan dihempas oleh angin yang begitu kuat dan mengakibatkan Solu (Sampan) yang dipakainya pecah menjadi dua bagian.

Walaupun dalam perjalanan menempuh medan yang tidak mudah akhirnya sampai juga ke tempat tujuan yaitu di Huta Panahatan Ibotona (Saudara Perempuannya). 

Kedatangan Tondur Siallagan yang dalam perjalanannya terombang-ambing oleh ombak tersebar di Huta Batu Nanggar.

Sehingga masyarakat Batu Nanggar menyebutnya dengan Umbak (Ombak) sehingga sejak saat itu Tondur Siallagan dikenal dengan nama Raja Ompu Umbak Siallagan.

Raja Ompu Umbak Siallagan adalah seseorang yang mempunyai keahlian untuk membuat Piso Halasan dan Tobbuk Lada.

Selama di Huta Batu Nanggar, Raja Ompu Umbak Siallagan sangat banyak mendapat pesananan untuk pembuatan pisau dan yang lainnya.

Biasanya Satu Pisau Halasan dibayar dengan seekor Kerbau. 

Seiring berjalannya waktu semakin banyak orang yang memesan pisau, maka semakin banyak pula kerbau yang dimiliki oleh Raja Umbak Siallagan.

Sehingga beliau memutuskan untuk pindah dari Huta Batu Nanggar. Akhirnya mendapat tempat di Huta Utte Anggir yang berada di sebelah Timur dari Huta Batu Nanggar.

Huta Utte Anggir merupakan tempat pertama yang dibuka. 

"Di sanalah kemudian Raja Ompu Umbak Siallagan mengembalakan ternaknya yang sudah begitu banyak. Setelah menetap beberapa lama, kemudian pindah lagi ke Dolok Parmahanan.

Alasan perpindahannya untuk memperlebar tempat penggembalaan dan tempat berladangnya," dalam tulisan BRWA. 

Disanalah Raja Ompu Umbak Siallagan beserta dengan istrinya (Boru Silalahi) dan ketiga anaknya menetap.

Ketiga anaknya itu adalah Ompu Raido Siallagan, Ompu Paninggoran Siallagan dan Ompu Saborang Siallagan. 

Setelah beberapa waktu di Dolok Parmahanan, Raja Sindolok yang ber-marga Sinaga datang untuk merebut tanah yang telah di tempati oleh Raja Ompu Umbak Siallagan.

Raja Sindolok menyatakan bahwa tanah yang telah ditempatinya itu adalah tanah Raja Sindolok dan meminta agar Raja Ompu Umbak Siallagan segera angkat kaki dari Dolok Parmahanan. 

Dengan situasi tersebut maka terjadilah perang untuk memperebutkan tanah yang ada di Dolok Parmanahan.

Peperangan itu dimenangkan oleh Raja Ompu Umbak Siallagan. Setelah menang Raja Ompu Umbak Siallagan mengganti nama tempat tersebut menjadi Dolok ParmonanganParmonangan,  Kabupaten Simalungun (Parmonangan yang artinya Menang).

Sejak itu dan hingga sekarang Huta Dolok Parmonangan merupakan Huta milik keturunan ketiga anak dari Raja Ompu Umbak Siallagan yang saat masih ditempati oleh keturunan ke-7 dari ketiga anaknya.

Aksi Masyarakat Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan dan Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di depan Pengadilan Negeri Simalungun, Rabu (14/8/2024).
Aksi Masyarakat Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan dan Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di depan Pengadilan Negeri Simalungun, Rabu (14/8/2024). (TRIBUN MEDAN/ALIJA)

Sejumlah massa dari Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan dan Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) menggelar aksi demo di Pengadilan Negeri Simalungun, Rabu (14/8/2024) pagi. 

Aksi dilakukan untuk menentang tuduhan pengrusakan dan penguasaan lahan terhadap Sorbatua Siallagan. 

Sorbatua Siallagan sendiri merupakan Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan yang berasal dari Desa Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. 

Dalam aksinya, masyarakat membentangkan spanduk agar pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Mereka juga meminta izin terhadap Toba Pulp Lestari yang berdiri di wilayah mereka ditarik pemerintah. 

Tetua Adat Lamtoras, Oppung Morrys Ambarita mengatakan bahwa budaya antara mereka dengan Ompu Umbak Siallagan tidak berbeda.

Keduanya merupakan keturunan dari Si Raja Batak yang berteduh di bawah Kasih Debata Mulajadi Nabolon. 

"Saya merasa kultur budaya kita tidak ada perbedaan. Selain itu kita juga sama-sama mengalami penindasan dan kekerasan, maka pada pagi ini kita akan mendoakan apa yang kita alami kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Debata Mulajadi Nabolon," kata Oppung Morrys Ambarita. 

Oppung Morrys Ambarita juga mengatakan bahwa ada empat dari warga Sihaporas yang diculik dan disiksa oleh aparat penegak hukum beberapa hari lalu.

Mereka adalah Jonny Ambarita, Giovani Ambarita, Thomson Ambarita dan Farando Tamba. 

"Mereka disiksa seperti teroris. Kita doakan apa yang kita alami ini kepada Tuhan," katanya seraya meminta pemain musik memainkan godang Batak. 

Sebagaimana diketahui, Sorbatua Siallagan akan menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Simalungun, yang dijadwalkan pada Rabu (14/8/2024) hari ini. 

(alj/tribun-medan.com) 

Update berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter   dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved