Berita Viral

Kejagung Belum Temukan Aliran Dana Mengalir ke Tom Lembong, Tapi Sudah sebagai Tersangka dan Ditahan

Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus impor gula.

Editor: AbdiTumanggor
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong ditahan terkait kasus dugaan korupsi impor gula di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (29/10/2024).(Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama) 

Budiawan mengatakan Tom Lembong baru mengubah Kemenperindag tersebut pada 23 Desember 2015 lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117/M-Dag/PER/12/2015.

Dengan terbitnya aturan tersebut, maka Kemenperindag Tahun 2004 otomatis dicabut. 

Adapun salah satu aturan yang berubah dalam Permendag yang diterbitkan Tom Lembong adalah keputusan impor gula harus terlebih dahulu melalui rapat koordinasi (rakor) dengan lembaga terkait. 

"Kalau kita lihat disangkakan mengapa yang (impor gula) tahun 2015 karena kalau kita lihat 2016 semuanya, sudah ada koordinasi dan juga melalui rekomendasi. Nah, ini (keputusan impor gula oleh Tom Lembong) yang dianggap tidak ada (rakor), memang tidak diperlukan peraturan itu (untuk memerlukan rakor) pada tahun 2004, ini yang dijadikan sebagai disangkakan itu," jelas Budiawan.

Budiawan pun semakin meyakini bahwa ada kepentingan politis lewat ditersangkakannya Tom Lembong oleh Kejagung. "Jadi saya lihat ini pemaksaan dan jadi kalau ditanya apa ini untuk kepentingan politik atau hukum? Menurut saya, ini sangat sarat politik," pungkasnya.

Kejagung Bantah Isu Politisasi 

Pihak Kejagung membantah asumsi yang menyebut adanya politisasi di balik penangkapan dan penetapan tersangka Tom Lembong.Kejagung menegaskan penetapan Tom Lembong sebagai tersangka sudah sesuai prosedur. Sebanyak 90 saksi, termasuk dua ahli telah dimintai keterangan oleh pihak Kejagung. Hal itu disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar.

Harli menjelaskan, saat ini pihak Kejagung masih menghitung kerugian negara akibat dugaan korupsi yang dilakukan Tom Lembong. Ia pun mengklaim Kejagung telah mengumpulkan alat bukti sebagai dasar penetapan status tersangka mantan Co-Captain Timnas AMIN tersebut. 

"Setidaknya sudah ada 90 saksi yang sudah diperiksa, termasuk di dalamnya 2 ahli. Sekarang sedang dihitung kerugian negara dan didalami apakah ada peran pihak lain dalam perkara ini," ujar Harli. 

"Terkait dengan alat bukti harus kembali pada 184 KUHP, di situ ada keterangan saksi, keterangan ahli, ada surat, ada petunjuk, keterangan tersangka atau terdakwa."

Harli menegaskan pihaknya akan membuka bukti permulaan kasus ini saat persidangan. Ia pun mengimbau publik untuk tidak bersikap tendensius, terutama soal isu adanya politisasi di balik penangkapan Tom Lembong. "Menetapkan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Dari mana bukti permulaan yang cukup? Ada 90 orang saksi yang sudah diperiksa, ada surat, ada keterangan ahli. Semua akan dibuka di persidangan," jelasnya.

Harli menegaskan, penangkapan Tom Lembong murni karena penegakan hukum. "Masyarakat jangan menjadi tendensius, seolah-olah ada politisasi. Di mana politisasinya? Ini murni penegakan hukum," tukas Harli.

Sebagai informasi, Kejagung sebelumnya mengungkap bahwa pada 2016 lalu Tom Lembong telah menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia).

Surat tersebut berisikan tugas untuk pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula. Di antaranya dengan cara melakukan kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah Gula Kristal Murni impor menjadi Gula Kristal Putih sebanyak 300.000 ton. Hal itu dilakukan karena pada tahun 2016, Indonesia disebut dalam keadaan kekurangan Gula Kristal Putih sebanyak 200.000 ton.

Kemudian Charles Sitorus yang merupakan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI diduga melakukan kongkalikong dengan 8 perusahaan swasta dalam melakukan impor. Usai melakukan impor, delapan perusahaan swasta itu lalu mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut. Padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi yang sebesar Rp 13.000/kg.

Kerjasama mereka itulah yang kemudian diduga merugikan negara Rp 400 miliar. Atas dasar itulah kini Kejagung masih mencoba menelusuri detail aliran dana dalam kasus impor gula ini. "Nah, nanti itu juga bagian yang didalami, itu yang saya bilang tadi. Kenapa harus PT PPI harus membeli, lalu (dijual oleh perusahaan swasta) di atas harga HET (harga eceran tertinggi)."

Sumber: Tribunnews
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved