Sinode Godang ke-67 HKBP, Kembali ke Jalan Ketulusan dan Kesederhanaan
Sinode kali ini berkemungkinan akan diikuti oleh beberapa kandidat calon Ephorus, yang tentu bukan kandidat sembarangan
Perubahan aturan atau amandemen aturan main akan berpotensi menunda proses pemilihan, yang tentu sangat tidak diinginkan oleh banyak pihak di dalam HKBP, terutama pihak petinggi organisasi.
Jalan terbaik saat ini adalah dengan menambahkan spirit baru yang berorientasi perubahan di dalam proses pemilihan pimpinan HKBP, yang disampaikan dan diramaikan oleh tokoh-tokoh besar HKBP, baik kepada umat di dalam setiap khotbahnya maupun kepada seluruh anggota organisasi HKBP di ruang-ruang non konvensional (seperti forum-forum publik Kristen, forum akademis di lembaga-lembaga pendidikan Kristen, atau di laman-laman media sosial para tokoh-tokoh besar HKBP, dan lainnya).
Penyuaraan perubahan ini sangat krusial sifatnya, agar semua pihak yang terkait dengan HKBP dan dengan masa depan HKBP “aware” atas eksistensi praktek-praktek yang kurang pantas di dalam dinamika sehari-hari HKBP selama ini. Karena bagaimanapun, “awareness” semacam ini akan menjadi modal awal untuk melakukan perubahan di tubuh HKBP.
Dengan kata lain, adanya “awareness” dan pengakuan dari umat dan tokoh-tokoh besar HKBP atas keberadaan praktek-praktek transaksional atau jenis praktek tak etis lainnya akan memotivasi tokoh-tokoh dan umat untuk terlibat aktif dalam mempengaruhi proses pemilihan, dengan harapan agar muncul kandidat yang benar-benar berniat dan mampu melakukan perubahan di waktu mendatang.
Misalnya, jika ada kandidat yang berani mengatakan secara tegas bahwa ia akan berjuang sekuat tenaga untuk membasmi model transaksional / jual beli jabatan Pendeta untuk posisi serta lokasi pelayanan yang menjanjikan banyak uang dan fasilitas di HKBP; isu yang masih sering terdengar, maka secara sederhana bisa disimpulkan bahwa kandidat ini adalah kandidat yang sangat layak untuk dikedepankan dan diberi kesempatan untuk memimpin HKBP ke depan.
Mengapa? Karena praktek semacam ini kabarnya sudah menjadi “rahasia” umum di dalam dinamika penempatan pendeta-pendeta HKBP selama ini, “rahasia umum” yang sangat mengkhawatirkan di satu sisi dan sangat tidak layak untuk terjadi di dalam organisasi semulia HKBP di sisi lain.
Masalah lainnya, misalnya, kecenderungan perilaku (oknum) para pendeta dan penatua gereja yang acapkali terlihat sangat hedonistik di dalam praktek kehidupan sehari-harinya, yang nampaknya sudah tidak berbeda dengan pendeta atau pimpinan/ gembala jemaat dari jenis gereja kharismatik.
Padahal gereja-gereja yang bernaung di bawah Persekutuan Gereja -Gereja di Indonesia (PGI) masuk kategori gereja dogmatik yang tidak menonjolkan simbol-simbol, ritual/seremoni.
Intinya, adanya kecenderungan hidup yang sangat hedon dari sebagian oknum pendeta HKBP perlu diperingatkan di satu sisi dan perlu diubah di sisi lain, karena sudah tak mewakili spirit teologis Kekristenan di satu sisi dan bukanlah gaya hidup pendeta yang ideal untuk organisasi HKBP di sisi lain.
Hedonisme semacam ini hanya akan memperburuk kecenderungan perilaku dari generasi muda Indonesia, terutama Gen Z yang jumlahnya sangat dominan, pada umumnya dan generasi muda HKBP pada khususnya, yang cenderung sangat materialistik, kurang beretika, dan tercerabut dari ajaran-jaran moral kekristenan.
Masalah selanjutnya yang harus diperhatikan oleh kandidat dan semestinya dilakukan segera adalah mengeliminasi pengaruh kekuasaan dan penguasa di dalam pemilihan pimpinan HKBP. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam beberapa waktu belakangan, pengaruh “orang kuat” sangat terasa di dalam gerak-gerik pimpinan-pimpinan HKBP, seolah-olah HKBP sudah “menghamba” kepada kekuasaan.
Sehingga secara off the record acap kali beredar informasi “transaksi” tak layak di dalam pemilihan pimpinan HKBP yang melibatkan jumlah uang tak sedikit. Jika benar maka hal ini perlu dihilangkan, atau setidaknya diminimalisasi, agar setelah pimpinan baru terpilih, kesan bahwa HKBP justru mengabdi kepada kekuasaan bisa dihilangkan. Karena idealnya tentu tidak demikian. HKBP semestinya mengabdi kepada Tuhan di satu sisi dan melayani umat HKBP di sisi lain, bukan kepada kekuasaan atau penguasa.
Kemudian, beberapa masalah lainnya yang juga sangat perlu diangkat dan perlu diselesaikan oleh pimpinan baru nanti diantaranya adalah masih banyak warga HKBP yang hidup di bawah garis kemiskinan dan bahkan kekurangan gizi, namun cenderung tak tersentuh oleh pengurus HKBP.
Lalu masalah Yayasan-Yayasan di bawah HKBP, termasuk Yayasan Universitas HKBP Nomensen, misalnya, yang dikabarkan cenderung menjadi sapi perah oknum pengurus Yayasan yang didalamnya juga ada pimpinan pusat HKBP. Sarat korupsi. Sehingga cukup bisa diwajari mengapa Universitas HKBP cenderung kurang berkembang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dan cenderung sepi peminat. Padahal di masa lalu Universitas HKBP Nomensen di Medan pernah diakui lebih baik dari Universitas Sumatra Utara (USU).
Jadi secara ideologis spritual, persoalan HKBP yang harus segera dibenahi oleh pemimpin baru adalah bahwa HKBP hari ini telah menjadi organisasi yang dikelola dengan spirit profane-duniawiah - materialisme yang penampakannya semakin kentara dari tahun ke tahun. Sehingga upaya untuk memperkuat dan menggali kembali spirit Sakralitas dalam teologia yang dianut HKBP menjadi sangat urgen hari ini untuk diturunkan ke dalam agenda-agenda perubahan HKBP ke depan.
| Ironi Kaldera Toba: Pembangunan demi Status Geopark UNESCO |
|
|---|
| Arti Lirik Lagu Batak Godangni Na Marsirang yang Dipopulerkan oleh Bulan Panjaitan |
|
|---|
| Intelektual Publik, The Lonely Single Fighter Penjaga Tegaknya Demokrasi |
|
|---|
| Bekali Diri secara Baik Sebelum Masuk Bilik Suara Pilkada Serentak |
|
|---|
| Menilik Peta Persaingan di Pilkada Sumatera Utara |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.