Ramai-ramai Ekonom Beber Kejanggalan demi Kejanggalan Data BPS soal Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen

Data BPS pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 mencapai 5,12 persen menuai sorotan publik karena dianggap tidak mencerminkan kondisi di lapangan

|
Editor: Juang Naibaho
Tribunnews.com
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Sejumlah ekonom membeberkan kejanggalan demi kejanggalan data BPS pada Kuartal II-2025 lantaran dipandang bertentangan dengan indikator ekonomi utama yang sudah dirilis sebelumnya. 

Kenaikan konsumsi di kuartal II diduga mungkin didorong oleh faktor musiman, seperti pencairan Tunjangan Hari Raya (THR) atau tambahan gaji menjelang Lebaran. 

Namun, faktor tersebut hanya berdampak di bulan pertama kuartal, dan tidak cukup menjelaskan kenaikan konsumsi selama tiga bulan penuh. 

Fenomena Rohana-Rojali

Ia juga menyinggung soal fenomena Rohana dan Ronjali,istilah populer untuk menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat yang mulai berhati-hati dan menunda belanja karena ketidakpastian. 

Hal ini semakin menunjukkan bahwa konsumsi seharusnya tidak mencatat pertumbuhan setinggi itu. 

“Konsumen di bawah 120. Kemudian indeks penjualan real juga masih di bawah target. Jadi konsumsi masih tetap bertahan 4,9. Apalagi ada fenomena Rohana, Ronjali, dan sebagainya. Nah ini yang saya kira memang perlu dilihat,” lanjutnya. 

“Dugaan saya kan ya mungkin alasannya ada gaji, THR juga mungkin di kuartal kedua ini masuk suasana lebaran, justifikasinya itu. Tapi kan itu di bulan pertama,” ucap Tauhid. 

Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen pada kuartal II-2025 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan. 

Menurutnya, terdapat sejumlah kejanggalan data, terutama pada sektor industri pengolahan, yang dalam laporan BPS disebut tumbuh sebesar 5,68 persen secara tahunan. 

Pertumbuhan ini, kata Bhima, sangat bertolak belakang dengan indeks PMI Manufaktur, yang justru mengalami penurunan dari 47,4 menjadi 46,9 pada akhir Juni 2025. 

Indeks ini menunjukkan bahwa sektor manufaktur mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut. 

“BPS menghitung adanya pertumbuhan 5,68 persen yoy untuk industri pengolahan, sementara akhir Juni 2025, PMI Manufaktur turun dari 47,4 menjadi 46,9,” katanya. 

Bhima juga menyoroti angka konsumsi rumah tangga yang tumbuh hanya 4,97 persen, padahal kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 54,2 persen. 

Ia menilai angka ini tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 5,12 persen. 

Keanehan lainnya, lanjut Bhima, fakta bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II justru lebih tinggi dari kuartal I, padahal tidak ada momen musiman seperti Ramadan atau Lebaran di kuartal II.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved