Opini Online

Judol: Yang Kalah Kita Semua

Presiden Prabowo baru-baru ini mengungkap data mengejutkan: Indonesia kehilangan lebih dari 8 miliar dolar AS (sekitar Rp133 triliun) setiap tahun

Editor: AbdiTumanggor
TRIBUN MEDAN/HO
Komisioner KPU Sumut, Robby Effendi 

Oleh: Robby Effendi

Saya sudah lebih dari delapan belas kali berkunjung ke Las Vegas - setidaknya lewat film-film Hollywood. Gemerlap lampu, desah wanita yang berpakaian seadanya, dan denting gelas berisi anggur di tengah gurun Nevada - semuanya seperti magnet yang menarik orang dari segala penjuru dunia. Tidak ada papan pengumuman: “Tamu harus lapor kepling!” Itu dulu, di era ketika kasino berarti perjalanan, gengsi, dan wangi.

Sekarang, semuanya bergerak terlalu cepat. Tak ada lagi lampu neon, tak ada dealer, tak ada keramaian. Tak ada suara wanita dan aroma Jack D di udara. Tak ada karpet merah, tak ada musik jazz, tak ada pelayan yang menawari martini. Yang ada hanya sinyal internet, saldo dompet digital, dan jempol yang gemetar di atas tombol “bet”.

Semua dilakukan dalam ketenangan yang sempurna - mendekati derajat orang yang sedang bertapa. Tanpa lampu sorot, tanpa tawa, tanpa saksimata - tapi dengan risiko yang jauh lebih besar daripada sekadar kalah di meja dadu. Bedanya, kalau dulu orang rela menempuh ribuan kilometer demi berjudi, kini cukup membuka aplikasi.

Sekarang Las Vegas itu ada di saku celana. Ia tak lagi menunggu kita datang; dialah yang datang menjemput kita. Dan tanpa sadar, jutaan orang Indonesia sudah membuka pintunya setiap hari.
Kini, cukup layar ponsel, jempol, dan satu harapan kecil: sekali lagi aja, mungkin kali ini menang.

Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengungkap data mengejutkan: Indonesia kehilangan lebih dari 8 miliar dolar AS (sekitar Rp133 triliun) setiap tahun akibat judi online (Kompas, 2025). Duit sebanyak itu menguap begitu saja dari Indonesia. Itu bukan angka main-main. Jumlah ini setara dengan tiga kali anggaran IKN atau cukup untuk membangun dua juta rumah subsidi.

Dan kabar dari kampung awak ini membuat situasinya makin nyata. Di Sumatera Utara, Gubernur Bobby Nasution menemukan lebih dari seribu ASN ikut bermain, dengan transaksi menembus Rp2 miliar (Tribunnews, 2025).

Sementara di Kota Binjai, polisi pernah membongkar jaringan bandar judol dengan omzet sekitar Rp360 juta per bulan (Media Indonesia, 2023) - bukti bahwa di balik layar ponsel warga, ada bisnis yang berdenyut, mengalirkan uang dari Sumatera Utara ke server di Filipina dan Kamboja. Beberapa penggerebekan di Medan dan Belawan sepanjang 2024 - 2025 menunjukkan jaringan ini aktif beroperasi. Meski begitu, data agregat pemain dan total transaksi khusus Kota Medan belum tersedia publik - menandakan ada ruang gelap besar di pasar digital yang belum tersentuh.

PELAKU JUDOL - Lima tersangka dan barang bukti kasus judi online (judol) diperlihatkan kepolisian Polda DIY saat jumpa pers, Kamis (31/7/2025) lalu.
PELAKU JUDOL - Lima tersangka dan barang bukti kasus judi online (judol) diperlihatkan kepolisian Polda DIY saat jumpa pers, Kamis (31/7/2025) lalu. (TRIBUNJOGJA/MIFTAHUL HUDA)

Dopamin

Secara psikologis, dopamin adalah zat kimia yang menghadirkan rasa bahagia dan motivasi.
Zat ini diproduksi gratis oleh otak kita (Wise, R. A. 2004). Tak perlu biaya, tak perlu izin. Coba saja: tersenyumlah selama tiga detik - ada rasa hangat yang muncul, bukan? Tertawalah tiga detik - bahagia menyertai kita.

Versi gratis lainnya adalah bermain dengan anak, bercanda dengan keluarga, atau menikmati udara sore. Versi berbayar ringan juga banyak: secangkir kopi, sebatang rokok, sepiring mi rebus tengah malam (Ashby, F. G., Isen, A. M., & Turken, A. U. 1999). 

Versi berbayar halal pun ada: hubungan suami-istri yang penuh cinta. Itulah sebabnya orgasme terasa nikmat - pada saat itu, otak dibanjiri dopamin, oksitosin, dan endorfin: kombinasi kimia alami yang membuat manusia lupa sejenak pada waktu (Pfaus, J. G. 2009).

Namun di puncak piramida itu ada dopamin premium - mahal, cepat, dan berbahaya.
Ia datang dari dua sumber: narkoba dan judol. Kecanduan judi online bekerja seperti narkoba digital (American Psychiatric Association 2013). 

Setiap kemenangan receh memicu si dopamin tadi - zat kebahagiaan instan - yang mendorong pemain menekan tombol spin lagi. Padahal kemenangan besar pun tak kunjung tiba. Yang berbahaya bukan kekalahannya, tapi rasa hampir menang, sensasi bahwa “tadi sedikit lagi bisa.” Begitulah siklus kecanduan terbentuk: bukan dari kemenangan, melainkan dari harapan palsu (Clark, 2009).

Tentu dari uraian dan realita yang sedang terjadi. Pernyataan Presiden bukan sekadar statemen moral, melainkan panggilan aksi. Bahwa judi online adalah isu ekonomi dan keamanan nasional, bukan sekadar hiburan. Data di Sumut menunjukkan: bukan cuma warga “luar” yang terlibat, tetapi juga aparat publik. Bersatunya dua level - nasional dan lokal - menunjukkan bahwa masalah ini punya spektrum luas dan tak bisa dianggap remeh.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved