Berita Viral

AHMAD SAHRONI Cs Bukan Diberhentikan dari DPR, Tapi Dinonaktifkan: Tetap Menerima Gaji dan Tunjangan

Sejumlah partai resmi menonaktifkan anggotanya dari kursi DPR per Senin (1/9/2025) setelah menjadi sasaran kemarahan publik.

|
Editor: AbdiTumanggor
Instagram @ahmadsahroni88
Ahmad Sahroni, politisi NasDem dikecam masyarakat karena statemen orang tolo sedunia. Hal itu disampaikan Ahmad Sahroni merespon adanya pihak yang meminta DPR RI dibubarkan. 

TRIBUN-MEDAN.COM -  Pada Minggu, 31 Agustus 2025, sejumlah partai politik mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan beberapa anggotanya dari kursi DPR RI.

Keputusan ini bukan tanpa sebab. Gelombang kemarahan publik dan demonstrasi yang berlangsung selama beberapa hari terakhir menjadi pemicu utama.

Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir menjadi sorotan setelah pernyataan dan sikap mereka dianggap melukai hati rakyat.

Respons cepat dari partai mereka menunjukkan bahwa suara rakyat tak bisa diabaikan begitu saja.

Namun, publik pun bertanya-tanya: apa sebenarnya arti status "nonaktif" bagi anggota DPR?

Apakah mereka benar-benar diberhentikan atau kehilangan kekuasaan dan hak-haknya?

Ternyata, status nonaktif tidak sama dengan pemecatan.

Anggota DPR yang dinonaktifkan tetap tercatat sebagai anggota dewan aktif.

Mereka hanya diberhentikan sementara dari tugas dan kewenangan sebagai wakil rakyat.

Menariknya, meski tidak menjalankan tugas, mereka tetap berhak menerima gaji dan berbagai tunjangan.

Berdasarkan Pasal 19 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 dan Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, tunjangan tersebut mencakup tunjangan istri/suami, anak, jabatan, kehormatan, komunikasi, hingga tunjangan beras.

Di sisi lain, pemecatan atau pemberhentian anggota DPR merupakan proses yang jauh lebih kompleks. 

Pencabutan permanen status keanggotaan ini melibatkan partai politik pengusung dan keputusan resmi lembaga legislatif.

Presiden pun tidak memiliki kewenangan untuk memecat anggota DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945.

Pemberhentian anggota DPR bisa diusulkan oleh ketua umum partai politik dan sekretaris jenderal kepada pimpinan DPR, dengan tembusan kepada presiden.

Alasan pemberhentian pun beragam, mulai dari pelanggaran sumpah jabatan, tindak pidana berat, hingga menjadi anggota partai politik lain.

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga berperan penting dalam proses ini.

Putusan MKD akan disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan pemberhentian.

Langkah menonaktifkan anggota DPR ini menjadi cerminan bahwa suara rakyat masih memiliki daya untuk mengubah arah kebijakan.

Di tengah hiruk-pikuk politik, publik menunjukkan bahwa mereka tak hanya penonton, tetapi juga aktor penting dalam demokrasi.

Kini, masyarakat menanti langkah selanjutnya agar tidak merasa tertipu daya lagi. 

Apakah status nonaktif akan berujung pada pemecatan?

Atau justru menjadi pelajaran berharga bagi para wakil rakyat untuk lebih bijak dalam bersikap?

Baca juga: Pakar Hukum Januari Sihotang: Istilah Penonaktifan DPR Tidak Dikenal di UUMD3

Baca juga: Adies Kadir Dinonaktifkan dari DPR Usai Viral Tunjangan Beras Rp12 Juta Rumah Rp50 Juta Masih Kurang

Baca juga: Uya Kuya dan Eko Patrio Dinonaktifkan dari Anggota DPR RI, Ketum PAN Zulhas Bungkam Nasib Kadernya

Baca juga: Uya Kuya dan Eko Patrio Dinonaktifkan dari Anggota DPR RI, Ketum PAN Zulhas Bungkam Nasib Kadernya

Rakyat akan lanjut demonstrasi

Gelombang demonstrasi akan berlanjut dengan tuntutan beragam, mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintahan yang dinilai kurang berpihak pada rakyat.

Di tengah situasi tersebut, sejumlah kampus turut menyuarakan keprihatinan mereka.

Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Indonesia (UI) menjadi dua institusi pendidikan tinggi yang mengeluarkan pernyataan sikap atas demonstrasi ini.

Dalam pernyataannya, UII mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menata ulang kebijakan agar lebih berpihak pada rakyat.

UII juga menyerukan pentingnya menjaga ruang demokrasi dan menolak segala bentuk kekerasan serta anarkisme.

Sementara itu, UI mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan menyampaikan aspirasi secara damai.

UI juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil, kebijakan ekonomi pro-rakyat, serta menjaga persatuan bangsa.

Pernyataan dari kampus-kampus ini menjadi refleksi atas kondisi sosial yang tengah berlangsung dan harapan akan perubahan yang lebih baik.

Momentum ini diharapkan untuk memperkuat solidaritas kemanusiaan dan menjaga nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Baca selengkapnya di Tribunnews.com.

Berikut lebih lanjut pernyataan yang telah dirilis oleh kampus-kampus lain:

  • Pernyataan Universitas Gadjah Mada (UGM) [Baca di sini]
  • Pernyataan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) [Baca di sini]
  • Pernyataan Universitas Hasanuddin (Unhas) [Baca di sini]
  • Pernyataan Universitas Padjajaran (Unpad) [Baca di sini]
  • Pernyataan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) [Baca di sini]

(*/Tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved