Berita Viral

POLISI Menjadi Superpower di KUHAP Baru yang Mulai Berlaku Januari 2026, Disorot Koalisi Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai aturan baru ini bukan membawa reformasi, melainkan menyeret Indonesia ke jurang krisis hukum

Editor: AbdiTumanggor
HandOut/Polri
POTRET Upacara kenaikan pangkat golongan Perwira Tinggi (Pati) dipimpin oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Rupattama Mabes Polri, Jumat (12/9/2025). 

Berdasarkan Pasal 6, 7, 8, dan 24, PPNS di lembaga seperti BNN (Narkotika), BPOM, Kementerian Kehutanan (Illegal Logging), hingga Bea Cukai, kehilangan independensinya.

Dalam aturan baru ini (Pasal 93 ayat 3 dan 99 ayat 3), PPNS tidak bisa melakukan penangkapan dan penahanan kecuali atas perintah atau persetujuan penyidik Polri.

"Penyidikan kasus-kasus spesifik terancam tidak efektif karena harus tunduk di bawah penyidik kepolisian yang kemampuan keahliannya mungkin tidak spesifik di bidang tersebut," ungkap perwakilan koalisi.

3. Celah Transaksional dalam Restorative Justice

Mekanisme Restorative Justice (RJ) yang seharusnya memulihkan korban, dalam KUHAP baru justru berpotensi menjadi ruang gelap pemerasan. 

Pasal 80 ayat 2 memungkinkan kesepakatan damai dicapai pada tahap penyelidikan, padahal keberadaan tindak pidana belum dipastikan secara hukum.

Situasi ini diperburuk dengan minimnya peran hakim yang hanya menjadi stempel formal (Pasal 83–84). 

Tanpa pengawasan hakim untuk menolak kesepakatan yang bermasalah, RJ rentan dimanipulasi menjadi ajang tukar guling kasus. 

Syarat RJ yang bersifat alternatif juga membuka celah bagi kejahatan serius seperti kejahatan lingkungan, perbankan, hingga judi online untuk diselesaikan di bawah meja.

4. Pasal Karet Tindakan Lain

Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, secara spesifik menyoroti adanya frasa ambigu dalam Pasal 5 huruf e, Pasal 7 huruf o, dan Pasal 16 huruf k yang memberikan wewenang kepada penyelidik untuk melakukan tindakan lain menurut hukum.

"Penjelasannya hanya tertulis 'cukup jelas'. Ini membuka ruang penyalahgunaan wewenang yang luar biasa besar," kata Fadhil. 

Frasa karet ini dikhawatirkan melegitimasi tindakan represif atau koruptif di lapangan tanpa landasan hukum yang pasti.

5. Ancaman Bagi Kritik dan Pembela HAM

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, menambahkan bahwa kombinasi pasal-pasal penangkapan tanpa kontrol pengadilan ini sangat berbahaya bagi demokrasi. 

Sumber: Tribun Medan
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved