Sumut Terkini

Harmoni di Ruang Kelas, Langkah Apriyanti Mengajar di MTsN Taput

Apriyanti lahir di Rantau Prapat dari keluarga sederhana pasangan Sahala Marpaung dan Harinta Br Purba. 

Penulis: Husna Fadilla Tarigan | Editor: Ayu Prasandi
ISTIMEWA
KISAH INSPIRATIF - Apriyanti Br Marpaung saat mengajar di salah satu ruang kelas MTsN Tapanuli Utara. Meski beragama Kristen, Apriyanti diterima dengan hangat oleh siswa dan rekan guru, menjadi teladan moderasi beragama di lingkungan madrasah. 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN– Di tengah kabar kelulusan CPNS Kementerian Agama tahun 2025, muncul sebuah kisah inspiratif dari Tapanuli Utara. Seorang guru beragama Kristen, Apriyanti Br Marpaung, resmi menjalankan tugas sebagai CPNS di MTsN Tapanuli Utara dan menjadi figur yang mencerminkan praktik moderasi beragama yang nyata, jauh dari teori dan slogan.

Hari pertama melapor di madrasah, Apriyanti mengaku sempat menjadi pusat perhatian.

“Beberapa pasang mata menatap saya dengan rasa heran, bukan karena saya guru baru, tapi karena identitas saya sebagai guru Kristen yang mengajar di madrasah,” ungkapnya.

Apriyanti lahir di Rantau Prapat dari keluarga sederhana pasangan Sahala Marpaung dan Harinta Br Purba. 

Anak keempat dari empat bersaudara itu menempuh pendidikan dasar hingga SMA di kampung halaman, lalu melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Medan. 

Dengan perjuangan pribadi dan dukungan orang tua, Apriyanti akhirnya lulus sebagai CPNS Kementerian Agama tahun 2025 sebelum ditempatkan di MTsN Tapanuli Utara.

Penempatannya sempat memunculkan pertanyaan lirih dari beberapa orang di sekitarnya “Lho, kok guru Kristen ngajar di madrasah?”

Namun, bagi Apriyanti, pertanyaan itu justru membuka pintu baru tentang makna keberagaman.

Setiap hari ia belajar hal baru tentang budaya sekolah, nilai-nilai Islam yang dijalankan para siswa dan guru, serta tradisi yang sebelumnya belum ia kenal.

“Yang membuat hati saya terharu, mereka menerima saya apa adanya. Mereka menghargai keyakinan saya, cara saya beribadah, dan langkah saya sebagai seorang pendidik,” katanya.

Menurut Apriyanti, perbedaan di madrasah justru menjadi jembatan, bukan jarak.

Ia merasakan bagaimana penghargaan dan saling memahami menjadi kekuatan yang menghidupkan harmoni di lingkungan sekolah.

“Moderasi beragama itu bukan sekadar teori dari seminar. Ia adalah sikap cara kita menyapa, memahami orang lain, dan berani bekerja sama meski berbeda keyakinan,” ujarnya.

Mengajar matematika di madrasah membuatnya semakin yakin bahwa keberagaman tidak perlu ditakuti.

“Keberagaman membuat kita tumbuh dan lebih terbuka. Di balik label agama yang berbeda, kita tetap manusia yang sama-sama ingin dihargai,” katanya.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved