Breaking News

Pengakuan Firli Bahuri Pernah Jemput Saksi di Lobi KPK, Demo Mahasiswa ke Komisi III DPR saat Diuji

Pengakuan Firli Bahuri Pernah Jemput Saksi di Lobi KPK, Demo Mahasiswa ke Komisi III DPR saat Diuji

Editor: Salomo Tarigan
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Pengakuan Firli Bahuri Pernah Jemput Saksi di Lobi KPK, Demo Mahasiswa ke Komisi III DPR saat Diuji 

Pengakuan Firli Bahuri Pernah Jemput Saksi di Lobi KPK, Demo Mahasiswa ke Komisi III DPR saat Diuji

TRIBUN-MEDAN.COM - Pengakuan Firli Bahuri Pernah Jemput Saksi di Lobi KPK, Demo Mahasiswa ke Komisi III DPR saat Diuji.

//

Ketua terpilih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irjen (Pol) Firli Bahuri mengakui, pernah menjemput langsung saksi yang hendak diperiksa penyidik KPK.

Baca: Ketua KPK Luapkan Kecewa, Jokowi Kirim Surpres, Minta KPK Diubah saja Jadi Komisi Pencegahan Korupsi

Hal itu diakui Firli dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019) kemarin, sebelum ia terpilih menjadi pimpinan KPK.

Firli mengatakan, hal itu dilakukan ketika ia menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK dan terjadi tepatnya pada tanggal 8 Agustus 2018.

"Pertemuan dengan Wakil Ketua BPK, saya harus sampaikan juga. Saya memang menjemput dia di lobi," ujar Firli.

Meski demikian, Firli merasa tindakannya tersebut merupakan hal yang wajar. Ia mengatakan, saksi tersebut merupakan mitra kerjanya.

Ia mendapatkan informasi bahwa saksi tersebut adalah Wakil Ketua BPK Bahrullah dari salah seorang auditor utama BPK, I Nyoman Wara.

Saat itulah ia memutuskan untuk menjemputnya di lobi KPK dan sempat mengajaknya ke ruangannya.

Tak beberapa lama, penyidik datang ke ruangan Firli menjemput Bahrullah untuk kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan.

"Kenapa saya jemput? Karena saya adalah mitra BPK, teman kerja. Saya ini juga menjemput (Bahrullah) karena ditelepon oleh salah satu auditor utama, namanya Pak Nyoman Wara, memberi tahu. Dia (Bahrullah) diminta keterangan sebagai saksi," tutur Firli.

Baca: Usai Aksi Beri Selamat kepada Firli Bahuri, Pendemo Pro-Revisi UU KPK Lempari Batu ke Gedung KPK

Pernyataan Firli ini merupakan jawaban dari pertanyaan anggota Komisi III DPR RI.

Pertanyaan itu sendiri datang dari konferensi pers beberapa pimpinan KPK yang menyatakan Firli melakukan pelanggaran etik berat.

Menurut Penasihat KPK Mohammad Tsani Annafari, Firli melakukan pelanggaran hukum berat berdasarkan kesimpulan musyawarah Dewan Pertimbangan Pegawai KPK.

"Musyawarah itu perlu kami sampaikan hasilnya adalah kami dengan suara bulat menyepakati dipenuhi cukup bukti ada pelanggaran berat," kata Tsani dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (11/9/2019).

Baca juga: Terpilihnya Firli Jadi Sorotan, Anggota Komisi III: Enggak Mungkin Kita Puaskan Setiap Orang

Pelanggaran etik berat Firli berdasarkan pada tiga peristiwa.

Pertama, pertemuan Irjen Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi pada 12 dan 13 Mei 2019. Padahal, saat itu KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB.

Firli tercatat pernah menjadi Kapolda NTB pada 3 Februari 2017 hingga 8 April 2018, sebelum menjadi Deputi Penindakan KPK.

Kedua, Firli melanggar etik saat menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK Pada 8 Agustus 2018.

Ketiga, Fili pernah bertemu petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018.

Baca: Johan Budi Tinggalkan Istana, Ini Alasannya

Meski demikian, pada saat pengambilan suara seluruh anggota Komisi III DPR RI, Firli beserta empat capim lainnya terpilih sebagai komisioner KPK periode 2019-2023.

Keempat capim lain yang dipilih, yakni Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron dan Alexander Marwata.

Setelah itu, seluruh fraksi di Komisi III juga sepakat memilih Irjen (Pol) Firli sebagai Ketua KPK periode 2019-2023.

Demo Mahasiswa hingga ke Balkon Komisi III

//

Sejumlah mahasiwa menggelar aksi unjuk rasa saat calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irjen Firli Bahuri menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019).

Baca: CPNS TERKINI - Pendaftaran CPNS 2019 Segera Dibuka, Nih Rincian Gaji Terbaru PNS, Update Info BKN

Baca: Guru Honorer Gauli Siswi MA Hingga Hamil, Takut Diancam Foto Tanpa Busananya Disebar

Mahasiswa itu mengenakan jaket almamater Universitas Indonesia, Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), Universitas Trisakti, dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) Irjen Firli Bahuri saat menyampaikan visi misi dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) Irjen Firli Bahuri saat menyampaikan visi misi dalam uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019). (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)

Mereka berada di bagian balkon ruang rapat Komisi III kemudian membentangkan poster bertuliskan SOS yang artinya keadaan darurat.

Saat itu, Irjen Firli tengah menyampaikan visi misinya.

Tak lama kemudian, petugas pengamanan dalam (pamdal) meminta mereka menghentikan aksinya kemudian meninggalkan balkon.

Setelah peristiwa itu, uji kepatutan dan kelayakan kembali berlangsung.

Irjen Firli sebagai capim KPK memang menuai kontroversi.

Pegiat antikorupsi Saor Siagian mengatakan, sedikitnya 500 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi telah menandatangani penolakan calon pimpinan KPK Irjen Firli untuk menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023.

KPK juga menyatakan mantan Deputi Penindakan KPK Irjen Firli Bahuri telah melakukan pelanggaran etik berat.

Penasihat KPK Muhammad Tsani Annafari mengatakan, Firli dinyatakan melakukan pelanggaran berat berdasarkan hasil musyawarah Dewan Pertimbangan Pegawai KPK.

"Musyawarah itu perlu kami sampaikan hasilnya adalah kami dengan suara bulat menyepakati dipenuhi cukup bukti ada pelanggaran berat," kata Tsani dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (11/9/2019).

Tsani mengatakan, pelanggaran etik berat yang dilakukan Firli itu berdasarkan tiga peristiwa.

Baca: BERITA FOTO Badan Eksekutif Mahasiswa Tolak Revisi Undang-Undang KPK di Depan Kantor DPRD Sumut

Peristiwa pertama, pertemuan Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuang Guru Bajang (TGB) di NTB pada 12 dan 13 Mei 2018 lalu.

Kemudian, KPK mencatat Firli pernah menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK pada 8 Agustus 2018.

Setelah itu, KPK mencatat Firli pernah bertemu dengan petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018.

Tsani mengatakan, pihaknya mempunyai bukti-bukti pelanggaran etik Firli berupa foto dan video yang didapat dari para saksi.

Namun, Tsani enggan menunjukkan bukti-bukti itu.

Baca: Dua Terdakwa Korupsi Dana Desa Pulangkan Uang Negara Rp 135 Juta

Mahfud MD Pun Merasa Aneh Jokowi Buat Surat Presiden (Surpres) ke DPR

TRIBUN MEDAN.com - Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, angkat bicara tentang surat presiden (surpres) yang dikirim ke DPR RI terkait revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mahfud MD menilai aneh Presiden Jokowi sampai mengeluarkan surpres terkait pembahasan revisi UU KPK yang diajukan DPR yang masa kerjanya tinggal beberapa hari.

Menurut Mahfud MD, masa kerja dewan periode saat ini tinggal menghitung hari (tersisa 20 hari), sementara Presiden memiliki waktu sampai 60 hari untuk mengeluarkan surpres.

"Terkait keputusan DPR tanggal 5-9-2019 tentang usulan inisiatif Revisi UU-KPK, akan menjadi sangat aneh jika Presiden membuat surpres persetujuan pembahasan kepada DPR yang sekarang," ujar Mahfud MD melalui akun twitternya.

Menurut Mahfud MD, berdasarkan ketentuan yang ada, Presiden memiliki waktu hingga 60 hari untuk menyikapi surat DPR terkait revisi UU KPK tersebut.

"Padahal, DPR yang sekarang masa tugasnya tinggal 20 hari," ujar Mahfud MD.

Baca: Cerita Sebenarnya di Balik Video Viral Xanana Gusmao Cium Kening BJ Habibie

Baca: Usai Mendaftar ke PDIP, Wakil Bupati Simalungun Amran Sinaga Incar Partai Islam

Baca: BJ Habibie Merasa Terhina dengan Surat PM Australia John Howard, Picu Pelepasan Timtim dari NKRI

Ketentuan Presiden memiliki waktu 60 hari memiliki alasan rasional.

Sebab, sebelum surpres dikeluarkan, di internal lembaga eksekutif harus ada dulu kajian yang mendalam oleh kementerian terkait.

"Tim dari kementerian harus mengkaji draft RUU dan menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Setelah itu baru Surpres," kata Mahfud MD melalui Twitter, Sabtu (7/9/2019).

Inilah kultwit Mahfud MD terkait revisi UU KPK.

@mohmahfudmd: Terkait keputusan DPR tgl 5-9-2019 ttg usul inisiatif Revisi UU-KPK akan menjadi sangat aneh jika Presiden membuat surpres persetujuan pembahasan kpd DPR yg skrng.

Mnrt ketentuan Presiden diberi waktu sekitar 60 hr utk menyikapinya; pd-hal DPR yg skrng masa tugasnya tinggal 20 hr

@mohmahfudmd: Waktu 60 hr yg diberikan kpd Presiden adl rasional sebab sblm surpres dikeluarkan di internal lembaga Eksekutif hrs ada dulu kajian yang mendalam oleh kementerian.

Tim dari kementerian hrs mengkaji draft RUU dan menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Stlh itu baru Surpres

Cuitan Mahfud MD itu disampaikan sebelum Surpres Presiden Jokowi dikirimkan kepada DPR.

Adapun surpres terkait revisi UU KPK dikirim ke DPR pada Rabu (11/9/2019).

"Supres RUU KPK sudah ditandatangani oleh Bapak Presiden dan sudah dikirim ke DPR pagi tadi," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Menurut Pratikno, daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan dalam Supres, banyak merevisi draf RUU tentang KPK yang diusulkan DPR.

Baca: Politikus PDIP Masinton Pasaribu Ajak Rekannya Loloskan Irjen Firli Bahuri Jadi Pimpinan KPK

Baca: BREAKING NEWS, Bobby Nasution Ambil Formulir Penjaringan Balon Wali Kota di PDI Perjuangan

Dikutp dari Wartakotalive.com, ketentuan pembuatan Surpres diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam UU No 12/2011 itu disebutkan Presiden memiliki waktu sampai 60 hari untuk menugasi menteri terkait guna membahas RUU bersama DPR.

Ayat 1 Pasal 49 UU No 12/2011: Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.

Ayat 2 Pasal 49 UU No 12/2011: Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.

Ayat 3 Pasal 49 UU No 12/2011: Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Adapun isi Surpres Jokowi terkait Revisi UU KPK, yakni:

Merujuk surat Ketua DPR RI nomor LG/14818/DPR RI/IX/2019 tanggal 6 September 2019 hal penyampaian Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ini kami sampaikan bahwa kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut.

Baca: Hotman Paris Bocorkan Jumlah Honor Elza Syarief saat Syuting di Acara Hotman Paris Show

Baca: Kisah Mobil Kesayangan BJ Habibie Mercedes Benz 300 SL Coupe Sangkut di Pohon hingga Diberi Sajen

Tanggapan KPK

Terkait surpres tersebut, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bila revisi UU KPK lolos menjadi UU, maka nama KPK mestinya harus diubah.

Agus Rahardjo mengemukakan hal tersebut karena berdasar usulan Komisi III DPR, KPK tidak lagi menjadi lembaga negara yang menindak korupsi, namun hanya mencegah tindakan itu terjadi.

"Ya mungkin yang paling sederhana, singkatannya harus diubah (jadi) Komisi Pencegahan Korupsi," kata Agus Rahardjo kepada wartawan, Kamis (12/9/2019).

Sebab, menurut Agus Rahardjo, dalam usulan DPR, penyadapan yang dilakukan KPK harus berdasarkan persetujuan dewan pengawas.

Padahal, penindakan kasus korupsi bisa dilakukan dengan dua cara.

Salah satunya, dengan melakukan penyadapan, laporan masyarakat, atau operasi tangkap tangan (OTT).

Penyadapan pun dilakukan untuk pengembangan kasus dalam case building.

Dari pengalaman KPK, dari kasus besar, lembaga negara itu mengembangkan kasus melalui penyelidikan, salah satunya dengan penyadapan.

Karena itu untuk bisa lepas dari jerat korupsi, lanjut Agus Rahardjo, seharusnya DPR membenahi UU Tipikor ketimbang merevisi UU KPK.

Apalagi, KPK dalam tugasnya bertumpu pada UU Tipikor.

"Ini yang harusnya kita memperbarui agenda (penindakan) korupsi kita dengan perbaikan UU Tipikor, tapi ini kok malah side back," ucapnya.

Baca: BREAKING NEWS Bripka Joel Gultom Berdarah-darah hingga Kritis Dipukuli Sekelompok Pemuda di Siantar

Baca: Alexander Marwata Bongkar Rahasia Dapur KPK, Penetapan Tersangka Berdasarkan Voting 5 Pimpinan

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif merespons surpres tersebut dengan penuh kekecewaan.

"Yang dikhawatirkan oleh KPK akhirnya tiba juga. Surat Presiden tentang Persetujuan Revisi UU KPK telah dikirim ke DPR."

"KPK pun tidak diinformasikan pasal-pasal mana saja yang akan diubah. Apakah adab negeri ini telah hilang?" kata Laode M Syarif kepada wartawan, Kamis (12/9/2019).

Tindakan selanjutnya, ujar Laode M Syarif, pimpinan KPK akan minta bertemu pemerintah dan DPR.

Mereka ingin meminta penjelasan terkait masalah ini.

Baca: Terungkap di Persidangan Bukan 40 Kg, Terdakwa Hasanuddin Mengaku 3 Kali Bawa Sabu Jumlah 99 Kg

"KPK juga menyesalkan sikap DPR dan pemerintah yang seakan-akan menyembunyikan sesuatu dalam membahas revisi UU KPK ini."

"Tidak ada sedikit transparansi dari DPR dan pemerintah. Ini preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia. DPR dan pemerintah berkonspirasi diam-diam untuk melucuti kewenangan suatu lembaga tanpa berkonsultasi. Atau sekurang-kurangnya memberitahu lembaga tersebut tentang hal-hal apa yang akan direvisi dari undang-undang mereka. Ini jelas bukan adab yang baik," tutur Laode M Syarif.

Laode M Syarif justru mengkhawatirkan cara seperti ini juga bakal menimpa lembaga lainnya. "Sebagai ilustrasi, mungkinkah DPR dan pemerintah akan melakukan hal seperti ini pada lembaga lain, seperti kepolisian atau kejaksaan atau lembaga-lembaga lain?" Tanyanya.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, surpres telah dikirim pada Rabu (11/9/2019) kemarin. Pemerintah, kata dia, telah merevisi draf daftar isian masalah (DIM) revisi UU KPK yang diterima dari DPR.

"Surpres RUU KPK sudah diteken presiden dan sudah dikirim ke DPR. Intinya bahwa nanti Bapak Presiden jelaskan detail seperti apa," kata Pratikno.

Baca: Polisi Periksa Enam Saksi Raibnya Uang Pemprov Rp 1,6 M, Ini Penjelasan Kasat Reskrim

Revisi DIM, menurut Pratikno, agar tidak mengganggu independensi KPK.

Namun, ia tak menjelaskan lebih lanjut mengenai DIM versi pemerintah.

Menurutnya, Jokowi berkomitmen menjadikan KPK independen dalam pemberantasan korupsi, sehingga punya kelebihan dibanding lembaga lainnya.

"Sepenuhnya Presiden akan jelaskan lebih detail. Proses saya kira sudah diterima DPR," katanya.

(*)

Tautan dikutip dari wartakota.tribunnews.com dan kompas.com, Firli Mengaku Pernah . . .

Baca: Irjen Firli Bahuri Ketua KPK Diragukan Penasihat KPK, Tsani: Jadi Seolah Mabes Polri Cabang Kuningan

Baca: SETELAH Irjen Firli Dipilih DPR Jadi Ketua KPK, Saut Situmorang Mundur, Penasihat KPK Ungkap Pesan

Pengakuan Firli Bahuri Pernah Jemput Saksi di Lobi KPK, Demo Mahasiswa ke Komisi III DPR saat Diuji

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved