Berita Sumut

RKUHP Akhirnya Disahkan, Pemerintah Dinilai Tidak Benar-benar Menyerap Aspirasi Publik

Klub Studi Sosio-Legal FH USU menilai pemerintah sejak awal tidak tidak benar-benar menyerap aspirasi publik, sebelum akhirnya RKUHP disahkan DPR.

INTERNET
Rancangan Kitab Undang-undang Pidana (RKUHP) 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Pengurus Klub Studi Sosio-Legal FH USU, Dios Lumban Gaol menanggapi pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang mengatakan bahwa pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tidak terburu-buru.

Menurutnya sejak awal, pemerintah tidak benar-benar menyerap aspirasi publik, masukan kritis dari kelompok masyarakat sipil dan lembaga riset tidak diakomodir terkait RKUHP

Baca juga: Dosen USU Ini Sebut Masyarakat yang Menolak RKUHP Kurang Literasi

RKUHP Disahkan dengan masih adanya beberapa pasal dalam RUU KUHP yang mereduksi hak sipil dan politik tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi. 

"Pemerintah juga tidak punya basis ilmiah atau riset dan argumen dalam mempertahankan/memasukkan pasal tersebut ke dalam RKUHP. Contohnya masih adanya pasal penghinaan pemerintah dan Lembaga Negara (Pasal 240), pasal subversiv muncul kembali (Pasal 188), pasal kriminalisasi unjuk rasa tanpa pemberitahuan (Pasal 256)," ujar Dios, lulusan Ilmu Hukum USU, Selasa (6/12/2022).

Dios pun menjelaskan soal Pasal 240, tidak relevan dalam negara demokrasi, yang menjamin warga mempunyai hak untuk berpendapat termasuk kritik.

Pertama, Pemerintah dan Lembaga Negara adalah badan publik. Badan publik tidak memiliki reputasi secara personal. Sehingga tidak relevan bila pasal penghinaan yang berfungsi melindungi individu, digunakan untuk melindungi badan publik.

Kedua, persoalannya kemudian antara kritik dan penghinaan sangat sukar dibedakan oleh aparat penegak hukum. Pasal penghinaan terhadap Pemerintah dan Lembaga Negara kerap dijadikan alat pelindung bagi pejabat yang anti kritik untuk memidana pengkritik.

Pasal 188, terdapat rumusan pasal subversif yaitu larangan menyebarkan atau mengembangkan paham lain yang bertentangan dengan pancasila. 

Rumusan ini tidak disertai dengan penjelasan yang eksplisit, sehingga berpotensi memidana organisasi yang kritis terhadap penguasa dengan tafsir tunggal penguasa.

Pasal 256, kriminalisasi terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan. 

Pengaturan KUHP sebelumnya tidak mengkriminalisasi unjuk rasa tanpa pemberitahuan.

Terkait unjuk rasa diatur dalam peraturan khusus yaitu UU No 9 Tahun 1998.

Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bila pengunjuk rasa tidak memberitahu kepada aparat penegak hukum, maka peserta unjuk rasa dapat dibubarkan, paradigma pemberitahuan yang dibangun dalam UU tersebut untuk melindungi peserta unjuk rasa.

Namun dalam RKUHP diatur bahwa unjuk rasa tanpa pemberitahuan yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dipenjara paling lama 6 bulan. 

Hadirnya pasal ini berpotensi memidana tiap peserta unjuk rasa.

Baca juga: Usai Disahkan DPR, AKBAR Sumut Bentang Spanduk Berisi Penolakkan RKUHP di Fly Over Jamin Ginting 

Halaman
12
Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved