Menendang "Kadal" di Ajang Pilkada
Pilkada bisa menjadi ajang seleksi calon-calon pemimpin lokal terbaik, bukan ajang untuk pemilihan kadal-kadal (pilkadal) yang melupakan pemilihnya se
Oleh: Dr Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjajaran
MENYAMBUT Pilkada serentak November 2024 nanti, saya ingat beberapa tahun lalu saat pertama kali Pilkada serentak dimulai, saya sempat membaca headline sebuah harian sore di Jakarta dengan judul yang cukup mengkhawatirkan: "Biaya Politik Picu Korupsi di Daerah". Isinya tak lain mengacu kepada mahalnya biaya kontestasi Pilkada yang kemudian banyak menyeret kepala daerah ke terungku KPK.
Boleh jadi, judul headline berita tersebut hanya bersifat hypothetical, alias sekedar asumsi. Karena kenyataannya, berbiaya mahal atau tidak sebuah kontestasi, jika sudah duduk di bangku pemenang, maka godaan korupsi selalu ada.
Sekalipun yang terpilih adalah calon yang paling sedikit mengeluarkan modal, jika sudah duduk jadi kepala daerah, peluangnya untuk korupsi sama saja dengan kepala daerah yang mengeluarkan modal paling banyak. Bukankah adigiumnya demikian. "Power tends to corrupt."
Baca juga: Sumut Provinsi Keempat Terbesar, Pj Gubernur Sebut Pelaksanaan Pilkada Akan Jadi Barometer Nasional
Apalagi jika ternyata memang benar biayanya sangat mahal. Tentu bukan saja akan menjadi peluang yang besar bagi si pemenang untuk menyalahgunakan wewenang, tapi nafsu korupsipun akhirnya ikut membesar karena termotivasi untuk mengembalikan atau bahkan mendapatkan lebih dari yang sudah dikeluarkan.
Toh pada tataran rasionalitas ekonomi politik, biaya kontestasi akan dihitung sebagai biaya investasi politik, yang suatu saat harus ada masa balik modalnya sekaligus dengan yield-nya.
Di sinilah salah satu letak lobang demokrasi kompetitif yang didominasi oleh watak-watak oligarkis pada elit, baik di daerah maupun di pusat.
Modal tampang ganteng, modal soleh, modal populer, dan seterusnya, hanya sebagian dari modal penting Pilkada. Karena pada ujungnya, sebagaimana kata seorang kawan, jika sudah berbicara pemilihan langsung dan demokrasi elektoral, maka kemenangan akan sangat ditentukan oleh kapasitas dan endurance logistik.
Iya atau tidak, mungkin akan sangat sulit diuji secara publik. Pasalnya, biaya politik yang besar cenderung menjadi pos belanja yang tidak terbuka secara publik.
Kandidat beserta tim suksesnya bisa mengaku berapa saja, bahkan nol rupiah sekalipun (walaupun sangat tidak mungkin), terkait berapa dana yang sudah mereka belanjakan untuk menang. Inilah perbedaan demokrasi di Indonesia dengan di Amerika Serikat nun jauh di sana, di mana dana kampanye diumumkan ke publik setiap bulan.
Dengan kata lain, asumsi bahwa logistik menjadi salah satu faktor utama kemenangan masih bisa diterima akal sehat. Toh memang biaya ratusan bilboard, baliho, spanduk, selebaran, newsletter, sosmed buzzing, relawan, dan biaya operasional lainnya, tidaklah murah.
Belum lagi jika harus kita kaitkan dengan mahar untuk mendapatkan beberapa surat rekomendasi dari Partai Politik, yang konon katanya adalah yang terbesar, sudah barang tentu angkanya semakin membengkak.
Baca juga: Pilkada Serentak 2024, Calon Kepala Daerah dari Jalur Perseorangan Mesti Dapat 124 Ribu Dukungan
Dengan demikian, intinya memang biaya-biaya politik untuk Pilkada tidaklah murah. Terlebih pula, jika seseorang sudah terpublikasi akan maju sebagai calon kepala daerah, umumnya proposal-proposal nyasar yang intinya memohon bantuan dan kerja sama modal, akan semakin bejibun saja berdatangan.
Dan itu semua adalah lobang-lobang pengeluaran politik yang harus ditambal oleh sang calon, jika ingin tetap dipandang sebagai calon potensial oleh konstituen.
| Ironi Kaldera Toba: Pembangunan demi Status Geopark UNESCO |
|
|---|
| Intelektual Publik, The Lonely Single Fighter Penjaga Tegaknya Demokrasi |
|
|---|
| Bekali Diri secara Baik Sebelum Masuk Bilik Suara Pilkada Serentak |
|
|---|
| Sinode Godang ke-67 HKBP, Kembali ke Jalan Ketulusan dan Kesederhanaan |
|
|---|
| Menilik Peta Persaingan di Pilkada Sumatera Utara |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.