Menendang "Kadal" di Ajang Pilkada
Pilkada bisa menjadi ajang seleksi calon-calon pemimpin lokal terbaik, bukan ajang untuk pemilihan kadal-kadal (pilkadal) yang melupakan pemilihnya se
Nah, kondisi tersebut, pada tataran lain, tentu akan menyeleksi secara alamiah siapa-siapa saja yang bisa (bukan hanya berhak) maju pada pemilihan kepala daerah. Kondisi sempurnanya tentu dimiliki oleh siapa yang populer, dekat dengan partai, dan memiliki sumber daya yang tak terbatas.
Artinya, sudah barang tentu bukan manusia daerah sembarangan. Atau paling pahit, sekalipun belum terlalu populer, tapi memiliki modal yang cenderung tak terbatas, itu pun masuk kategori potensial untuk maju.
Perkara popularitas, dengan berbagai macam cara, bisa di-boosting dan di-generate, selama dana si kandidat masih tak berseri jumlahnya.
Bahkan konon, dalam beberapa bulan saja namanya sudah bisa dikenal banyak orang. Cukup kepung para pemilih dengan bilboard-bilboard, spanduk-spanduk, selebaran-selebaran, dan iklan-iklan, plus event-event megah, maka sebulan dua bulan setelah itu jika survei dilaksanakan, namanya akan masuk ke dalam daftar lima atau sepuluh besar calon potensial.
Lantas, jika memang biaya politik yang mahal tersebut benar adanya, kira-kira akan datang darimana? Ada banyak sumber tentunya. Biasanya, modal awal datang dari kocek pribadi kandidat. Kondisi ini berlaku bagi kandidat yang hanya mampu untuk memulai.
Dengan catatan, jika potensialitas pencalonannya dinilai berprospek, maka kemudian rerata dari mereka akan menggandeng sponsor. Sponsor di sini adalah sponsor versi politik "Indonesia", bukan versi Amerika.
Karena sponsor di Amerika dikenal dalam proses legislasi sebagai inisiator pembuatan Undang-Undang. Yang mengusulkan dibuatnya sebuah Undang-Undang di Parlemen Amerika dikenal dengan sebutan sponsor.
Tapi dalam ranah pemilihan di Indonesia, sponsor bertendensi agak negatif, yakni pihak ketiga yang ikut membiayai kontestasi kandidat kepala daerah.
Mereka rerata adalah pengusaha alias dari kalangan bisnis atau patron politik sang kandidat yang level dan makom modalnya jauh di atas rata-rata. Lantas mengapa tendensinya negatif? Padahal di negara demokrasi maju, penggalangan dana adalah hal yang biasa. Karena di indonesia, sponsor tidak memberi secara cuma-cuma alias no free lunch seperti sponsor konser dangdut atau event kebudayaan. Sponsor dalam konteks kita lebih cenderung bergerak dalam logika "berbisnis dalam politik". Sekian modal keluar, maka sekian kali lipat harus dibayar.
Dan biasanya, pembayaran tampil dalam rupa proyek-proyek pemerintah. Kondisi paling mungkin adalah dengan tender-tender yang pemenangnya sudah diatur sedemikan rupa, yakni berasal dari pihak sponsor atau salah satu dari jaringan pihak sponsor.
Lantas di mana salahnya? Salahnya tentu bukan pada tendernya, toh semua pengusaha boleh ikut tender selama memenuhi kualifikasi. Tapi apakah semua pengusaha punya "chance" untuk menang dan mendapatkan proyek? Nah, karena prakondisi ekonomi politik di atas tadi, jawabannya rerata tidak.
Pada tender-tender yang dilangsungkan di bawah kepemimpinan "bersponsor" rerata pemenangnya sudah diatur dan ditentukan untuk menang jauh hari sebelum tender itu dimulai. Bahkan tak menutup kemungkinan, proyek tersebut justru diusulkan oleh pihak sponsor alias memang dikhususkan untuk dikerjakan oleh sponsor setelah kandidatnya menang.
Bagi rakyat pemilih di daerah, syukur-syukur jika proyek yang dimunculkan berkenaan langsung dengan kesejahteraan rakyat, jika tidak maka tidak pula bisa diganggu-gugat, selama secara hukum memang tak bermasalah.
Jika ternyata ada kaitanya, rakyatpun harus siap kapasitas proyek pada akhirnya hanya tersisa sebagian saja. Karena dana proyek rerata sebagian harus dipakai untuk biaya-biaya politik pemulus pemenangan tender, dikurangi net profit untuk yang dapat tender. Begitulah kira-kira cara kerjanya.
Jadi sekalipun kita berbicara demokrasi adalah sistem yang berbasiskan kedaulatan rakyat, rasanya cukup sulit juga kita untuk menemukan pada bagian mana rakyat mendapatkan porsi kedaulatannya dalam Pilkada atau pemilihan sejenis, selain beberapa jari yang dipakai di bilik suara. Saya pikir hanya sebatas itu.
| Ironi Kaldera Toba: Pembangunan demi Status Geopark UNESCO |
|
|---|
| Intelektual Publik, The Lonely Single Fighter Penjaga Tegaknya Demokrasi |
|
|---|
| Bekali Diri secara Baik Sebelum Masuk Bilik Suara Pilkada Serentak |
|
|---|
| Sinode Godang ke-67 HKBP, Kembali ke Jalan Ketulusan dan Kesederhanaan |
|
|---|
| Menilik Peta Persaingan di Pilkada Sumatera Utara |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.