Menendang "Kadal" di Ajang Pilkada

Pilkada bisa menjadi ajang seleksi calon-calon pemimpin lokal terbaik, bukan ajang untuk pemilihan kadal-kadal (pilkadal) yang melupakan pemilihnya se

Editor: iin sholihin
ISTIMEWA
Dr Jannus TH Siahaan 

Oleh karena itu, kita semua harus belajar untuk memastikan agar Pilkada benar-benar menjadi mekanisme untuk melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas dan mementingkan rakyat daerahnya, bukan menjadi pil pahit untuk tumbuh dan berkembangnya kadal-kadal di daerah.

Dalam konstelasi realitas yang demikian, maka media, para aktifis demokrasi, tokoh masyarakat, kampus dan para intelektual sejatinya mengemban tugas yang tidak ringan. Publik harus diedukasi soal pemilihan yang mengandung dua fungsi krusial dan sangat menentukan untuk menjawab apakah sebuah negara atau daerah akan terus mengalami "trend positif" kemajuan atau berbalik arah ke jalur "perlambatan, pembusukan, atau ketertinggalan"?

Kedua fungsi tersebut harus berjalan seimbang. Artinya, antara satu dan lainnya harus saling melengkapi dan saling mengisi. Menjalankan fungsi pertama harus dalam rangka mewujudkan fungsi kedua, begitupun sebaliknya.

Sebagaimana dipaparkan oleh pakar pemilihan umum dari Harvard University (John F. Kennedy School Of Government), Prof. Pippa Noris, pemilihan tidak saja berfungsi sebagai (1) proses seleksi calon-calon terbaik yang akan menduduki pos-pos kepemimpinan strategis, tapi juga harus bisa menjadi (2) ajang untuk mengeluarkan "para bajingan" dari kancah kontestasi dan dari sistem politik yang sedang berjalan. Beliau menyebutnya dengan istilah "to kick the rascals out" alias untuk menendang para bajingan keluar dari arena politik.

Bagaimana caranya? Sederhananya, cara untuk mengeluarkan para bajingan politik dari arena kontestasi adalah dengan mekanisme "vote out" alias jangan pilih para bajingan, tapi pilihkan kandidat-kandidat terbaik yang telah teruji kompetensi, track record, dan intergritasnya.

Media, misalnya, sebagai salah satu elemen civil society yang paling menonjol, tentu harus lebih agresif lagi dalam mengawal proses pemilihan kepala daerah dan dinamika setelah terpilihnya kepala daerah.

Artinya, selayaknya media tidak hanya menjadi “corong salah satu kandidat” di masa pemilihan dan menjadi "corong penguasa" setelah pemilihan, sebagaimana sering terjadi, tapi juga menjadi corong masyarakat daerah dan corong kebenaran serta keadilan. Media harus bisa mengurangi kondisi informasi yang sangat "asymmetric" di daerah. Jangan sampai ada yang memonopoli informasi.

Untuk itu, media harus mampu melakukan pemerataan penyebaran informasi ke semua level masyarakat secara fair dan adil. Informasi yang dimonopoli oleh elit-elit daerah akan meminggirkan rakyat dari pergulatan ruang publik dan selanjutnya akan mengeliminasi kepentingan rakyat daerah dari proses pengambilan keputusan lokal.

Last but not least, pilkada yang bisa meloloskan calon-calon tidak kompeten, tidak bersih, dan tidak memiliki sense of people, adalah pilkada yang dimulai dengan ketertutupan informasi dan disokong oleh mekanisme rekruitment calon yang jauh dari kontrol publik.

Akses masyarakat terhadap informasi-informasi yang berkaitan dengan calon-calon yang (akan) berlaga harus ditingkatkan. Begitupun dengan sumber informasinya, sebagaimana dikonseptualisasi oleh (Alm) Prof. Robert Dahl dalam "On Democracy" dan "Poliarchy", harus ada berbagai sumber informasi alternatif agar tidak terjadi monopoli kebenaran oleh satu pihak.

Hal ini bisa mengurangi penggelembungan "elektabilitas" calon-calon yang berpotensi menjadi pengkhianat aspirasi pemilih. Sehingga, Pilkada bisa menjadi ajang seleksi calon-calon pemimpin lokal terbaik, bukan ajang untuk pemilihan kadal-kadal (pilkadal) yang melupakan pemilihnya setelah menduduki kursi kekuasaan. Semoga! (*)

 

Sumber: Tribun Medan
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved