Sumut Terkini

Sidang Vonis Alih Fungsi Kawasan Hutan di Langkat Ditunda di Pengadilan Medan

Akuang dinilai menikmati hasil dari penguasaan lahan secara ilegal tersebut.

Penulis: Anugrah Nasution | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN MEDAN/ANUGRAH
SIDANG KASUS AKUANG - Dua terdakwa kasus korupsi penguasaan dan pengalihan fungsi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Kamis (20/6/2025). 

TRIBUN-MEDAN. com, MEDAN- Sidang vonis alih fungsi kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading di Kabupaten Langkat dengan terdakwa Alexander Halim alias Akuang selaku pemilik lahan dan Imran selaku mantan Kepala Desa (Kades) Tapak Kuda ditunda oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan, Senin (4/8/2025). 

Pantauan Tribun Medan, sidang sempat dibuka oleh Ketua Majelis Hakim M Nazir sebelum akhirnya ditunda.

Hakim mengatakan bila berkas putusan belum selesai. 

"Sidang akan dilanjutkan pada Senin 11 Agustus 2025," jelas hakim. 

Ada pun dalam kasus ini kedua terdakwa dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam uraian dakwaan, JPU menjelaskan bahwa pada tahun 2013, Akuang meminta bantuan Imran kepada Kepala Desa Tapak Kuda saat itu untuk menerbitkan surat keterangan tanah di kawasan suaka margasatwa. 

Dokumen tersebut kemudian digunakan untuk memecah dan mengajukan akta jual beli ke notaris, dengan tujuan mengubah status kepemilikan menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM). Padahal, kawasan itu termasuk hutan lindung yang tidak bisa dialihfungsikan tanpa izin negara.

Akuang dinilai menikmati hasil dari penguasaan lahan secara ilegal tersebut.

Sebaliknya, Imran, yang juga dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan, tidak dibebani uang pengganti karena jaksa menyatakan ia tidak menerima keuntungan pribadi dari kasus ini.

Jaksa mengungkapkan bahwa perbuatan terdakwa tergolong memberatkan karena tidak mendukung upaya pemerintah memberantas korupsi, menguasai kawasan hutan negara, dan tidak menunjukkan iktikad baik mengembalikan kerugian negara, serta telah menikmati hasil dari lahan suaka margasatwa secara ilegal. 

Sementara itu, melalui nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan Dedi Suheri kuasa hukum Akuang membantah dakwaan JPU. 

Deddy mengatakan, locus perkara bukan merupakan kawasan hutan, sertifikat hak milik belum pernah dibatalkan, perhitungan kerugian keuangan negara dinilai serampangan, dan penegakan hukum terhadap terdakwa tidak sesuai dengan asas lex favor reo. 

Dedi mengklaim, bahwa lahan yang menjadi objek perkara tidak memenuhi syarat sebagai kawasan hutan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Undang-Undang Cipta Kerja, harus melalui tahapan resmi seperti penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan oleh Menteri Kehutanan.

Selain itu, lahan yang dimaksud memiliki Nomor Objek Pajak (NOP) dan telah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang menurut undang-undang tidak berlaku terhadap kawasan hutan lindung, suaka margasatwa, dan tanah negara yang belum dibebani hak.

Kata Deddy, kliennya Alexander memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah secara hukum dan belum pernah dibatalkan atau dicabut oleh pejabat berwenang, dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat atau Kementerian ATR/BPN.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved