Perang Hamas vs Israel

PECAHNYA Perang Hamas Palestina-Israel untuk Memecah Konstentrasi AS terhadap Ukraina hingga Taiwan?

Pecahnya perang antara pejuang Hamas Palestina dengan Israel ini disinyalir untuk memecah konstentrasi Amerika Serikat terhadap Ukraina hingga Taiwan

|
Editor: AbdiTumanggor
ho
China kini kuasai dunia Arab (Timur Tengah). 

Salah satu ciri khas sistem ini adalah kemampuannya mencegat roket yang diproyeksikan mendarat di area kosong.

Namun, pakar militer Rusia Yuri Knutov menyebut Iron Dome memiliki kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh musuh.

Menurutnya, Iron Dome akan kebobolan jika terjadi serangan yang melibatkan setidaknya 100 roket ke atas.

"Jika terjadi serangan yang lebih intensif, yang melibatkan setidaknya 100 roket, Iron Dome biasanya gagal melakukan tugasnya," kata Knutov, dikutip dari SputnikGlobe, Senin (9/10/2023).

Jika melihat serangan Hamas yang terjadi pada Sabtu (7/10/2023) pagi, Hamas meluncurkan roket secara massal dari berbagai arah.

"Strategi semacam ini bertujuan untuk melumpuhkan pertahanan Iron Dome Israel,"jelasnya.

Rusia disebut manfaatkan perang Hamas-Israel

Di sisi lain, pihak Rusia disebut-sebut memanfaatkan perang antara Hamas Palestina dan Israel yang saat ini terus berkecamuk. Muncul peringatan yang menyebutkan bahwa Rusia akan melemahkan semangat warga Ukraina. Rusia pun turut menyalahkan Barat. Pasalnya, barat dinilai mengabaikan konflik di Timur Tengah, demi mendukung Ukraina.

Kremlin mengklaim, bahwa komunitas internasional akan mengalihkan perhatiannya pada krisis Timur Tengah dan tidak lagi berfokus pada Ukraina.

Propagandis terkemuka Rusia, Sergei Mardan lantas disebut tengah mempengaruhi pendengar mereka. Sergei Mardan disebut tengah melemahkan semangat para pendengar asal Ukraina dengan menyatakan bahwa Rusia akan memperoleh keuntungan dari meningkatnya perang di Israel. Ukraina juga disebut akan kehilangan dukungan internasional.

Selain itu, meyakinkan Rusia hahwa fokus Barat terhadap krisis Israel akan mengalihkan perhatian mereka dari perang di Ukraina. Begitu juga dengan Amerika Serikat dan sekutunya akan fokus utamnya pada konflik Israel dan bukan ke Ukraina lagi.

Rusia Salahkan Amerika Serikat

Saat perayaan ulang tahun ke-71 Presiden Rusia Vladimir Putin di negara bagian Ferderasi Rusia, Republik Chechnya, pada Sabtu (7/10/2023), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova menyebut, konflik Palestina dan Israel tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan, melainkan hanya melalui diplomatik.

Ia menegaskan bahwa Rusia tetap mempertahankan posisinya (mendukung perjuangan Hamas) untuk kemerdekaan Palestina.

Moskow hanya ingin Palestina hidup damai berdampingan dengan Israel.

Sementara, mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, menyatakan kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) patut disalahkan atas eskalasi militer terbaru antara Israel dan Hamas Palestina. Ia mengatakan AS seharusnya menyalurkan energinya untuk memastikan perdamaian abadi di Timur Tengah namun memilih fokus pada Ukraina.

Perdana Menteri Rusia itu mengomentari eskalasi militer Israel dan Hamas Palestina yang dimulai pada Sabtu (7/10/2023) dengan serangan Hamas ke Israel.

Menurutnya, kejadian ini tidak dapat diprediksi. “Inilah yang seharusnya ditangani oleh Washington dan sekutunya,” jelasnya di saluran Telegram-nya, Minggu (8/10/2023).

Dmitry Medvedev menambahkan konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama beberapa dekade dan AS menjadi pemain kunci di sana.

"Alih-alih melakukan hal itu, orang-orang bodoh ini malah terlibat di wilayah kita dan secara aktif membantu neo-Nazi, mengadu domba dua orang dekat satu sama lain,” lanjutnya.

Medvedev mengatakan AS telah memicu berbagai konflik di seluruh dunia, yang bukan wilayah AS.

Ia menyimpulkan, sepertinya hasrat AS tersebut akan padam jika terjadi perang saudara di wilayah AS sendiri.

Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada 28 Juli mengucapkan selamat kepada Taliban atas keberhasilannya kembali merebut Afghanistan. (24h.com.vn) Kamis (29/7/2021)
Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada 28 Juli mengucapkan selamat kepada Taliban atas keberhasilannya kembali merebut Afghanistan, Kamis (29/7/2021) (24h.com.vn)

China: Palestina harus merdeka sebagai solusi perdamaian

Sama halnya dengan China turut memberi respons atas ketegangan baru yang terjadi antara Faksi Hamas, Palestina, dengan Israel.

Pejabat kementerian Presiden Xi Jinping itu bahkan meneriakkan pendirian negara Palestina yang merdeka sebagai solusi perdamaian.

"Kami menyerukan pihak-pihak terkait untuk tetap tenang, menahan diri dan segera mengakhiri permusuhan untuk melindungi warga sipil dan menghindari memburuknya situasi," kata Kementerian Luar Negeri China seperti dikutip CNBC International, Senin (9/10/2023).

"Jalan keluar mendasar dari konflik ini terletak pada penerapan solusi dua negara dan pembentukan Negara Palestina yang merdeka," tegasnya lagi.

Pernyataan China itu bukan tanpa dasar. Selama ini, China memang telah memainkan peran dalam meredakan ketegangan Israel-Palestina.

China juga berperan dalam menyatukan negara-negara Arab beberapa tahun belakangan ini. 

"Komunitas internasional perlu bertindak dengan urgensi yang lebih besar, meningkatkan masukan terhadap masalah Palestina, memfasilitasi dimulainya kembali perundingan perdamaian antara Palestina dan Israel, dan menemukan cara untuk mewujudkan perdamaian abadi," pungkas Kementerian Luar Negeri China.

"China akan terus bekerja tanpa henti dengan komunitas internasional untuk mencapai tujuan tersebut," tambah Kemlu.

Sementara itu, perwakilan tetap China untuk PBB, Zhang Jun, mengatakan, China mengutuk semua kekerasan dan serangan terhadap warga sipil.

Peran China di Timur Tengah

Terkait geopolitik, dua negara besar yaitu Amerika Serikat dan China , yang sama-sama ingin menguasai ekonomi dunia. Ada beberapa titik di dunia yang bisa menjadi eskalasi konflik belakangan ini setelah Rusia-Ukraina. Hal ini berkaitan dengan kepentingan ekonomi dunia, minyak dan gas, hingga penjualan senjata.

Setelah Rusia-Ukraina, ada Taiwan-Laut China Selatan, Afrika Tengah, dan Timur Tengah. Sekarang mendadak meledak eskalasi konflik besar antara Hamas dengan Israel

Sebelumnya, Tiongkok berhasil mencairkan hubungan antara negara-negara Arab.

Arab Saudi dan Iran, dua negara penting di kawasan Timur Tengah, memutuskan untuk kembali membuka layanan diplomatik.

Pemulihan hubungan antara Saudi dan Iran sendiri telah menimbulkan gema baru dalam geopolitik Timur Tengah. Pasalnya, Iran merupakan negara yang mendukung sejumlah kelompok bersenjata, seperti Houthi Yaman, rezim Presiden Bashar Al Assad Suriah, Hamas, dan juga Hizbullah di Lebanon.

Terbaru, Qatar dan Bahrain sepakat untuk membuka kembali hubungan diplomatik. Selain itu, Tunisia juga setuju untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Suriah.

Seluruhnya kemudian berubah pada Maret 2023 ketika China berhasil mendamaikan Riyadh dan Teheran.

Keduanya bahkan telah mengundang pemimpin satu sama lain dan telah membuka layanan diplomatik di dua ibukota.

Diplomat paling senior China, Wang Yi, mengatakan bahwa Beijing akan terus memainkan peran konstruktif dalam menangani masalah hotspot dan menunjukkan tanggung jawab sebagai negara besar.

"China sebagai mediator yang beritikad baik dan dapat diandalkan, telah memenuhi pekerjaannya sebagai tuan rumah dialog," tuturnya kepada Middle East Monitor.

Pemulihan negara-negara Arab ini akhirnya menciptakan efek domino baru bagi industri energi dunia.

Pasalnya, Timur Tengah merupakan wilayah yang memiliki deposit minyak yang sangat besar.

Saudi dan Iran merupakan anggota dari Organisasi Pengekspor Minyak atau OPEC. Organisasi ini dalam beberapa bulan belakangan menjadi sorotan lantaran memotong produksi minyaknya, sebuah sesuatu yang berseberangan dengan kemauan Amerika Serikat di tengah lonjakan harga energi pasca perang Rusia-Ukraina.

Aemerika Serikat dikabarkan tidak senang dengan ini. Wall Street Journal melaporkan bahwa melalui Direktur Badan Intelijen Pusat (CIA), Bill Burns, AS mengungkapkan ketidaksenangan Washington pasca rekonsiliasi Arab Saudi dengan Iran.

"Washington merasa frustasi karena tidak dilibatkan dalam perkembangan regional dan akibatnya merasa dikesampingkan," ujar seorang sumber, dilaporkan Middle East Monitor.

China kini penguasa Timur Tengah Melalui Proyek Sabuk dan Jalan

Banyak negara Arab kini memandang China sebagai kiblat yang menerapkan sistem politik diktator, tetapi mengadopsi kebijakan ekonomi kapitalis. Dunia Arab melihat, dengan sistem itu, China meraih kemajuan luar biasa. Kemajuan ekonomi China cukup membuat silau dunia Arab.

Banyak cendekiawan Arab terakhir ini menulis buku tentang China, khususnya terkait megaproyek konektivitas sabuk dan jalan yang diluncurkan Pemerintah China pada tahun 2013.

Ada beberapa buku tentang China, di antaranya buku berjudul Sabuk dan Jalan, Upaya Hidupkan Kejayaan Masa Lalu atau Menatap Masa Depan.

Buku ini memuat artikel beberapa cendekiawan Arab dan diterbitkan oleh perpustakaan Alexandria, Mesir, dikutip dari artikel Kompas.Id yang tayang 14 Januari 2022.

Ada pula buku berjudul China, Timur Tengah dan Mesir, Upaya Membangun Perdamaian dan Kemitraan Strategis karya pengamat politik Mesir, Sarah Abdel Aziz al-Ashrafi.

Mahmud Ezzat Abdel Hafed, pengamat politik Mesir lainnya, menulis buku Ekspansi China ke Afrika, Pandangan Strategis.

Pengamat politik Arab Saudi, Shereen Jaber, tak mau ketinggalan. Ia pun menulis buku berjudul Dunia Arab dan Proyek Sabuk dan Jalan, Peluang dan Tantangan.

Buku-buku tersebut mengupas tentang kepentingan timbal balik China dan dunia Arab.

Betapa China menggunakan megaproyek Sabuk dan Jalan untuk mewujudkan kepentingannya menguasai pasar dunia Arab saat ini. Sebaliknya, betapa dunia Arab juga memanfaatkan China untuk proyek pembangunan atau reformasi ekonomi di kawasan tersebut.

Hubungan saling menguntungkan kedua pihak tersebut membuat neraca perdagangan China-dunia Arab dan investasi China di kawasan itu cukup fantastis.

Neraca perdagangan China dan dunia Arab pada tahun 2019 mencapai 266,5 miliar dollar AS. Adapun investasi China langsung di dunia Arab kini mencapai 1,4 miliar dollar AS.

Dubes China untuk Mesir yang saat itu Liao Liqiang, pada kata pengantarnya dalam buku "Sabuk dan Jalan, Upaya Hidupkan Kejayaan Masa Lalu Atau Menatap Masa Depan" mengatakan, Sabuk dan Jalan adalah membuka peluang baru bagi kerja sama China-Mesir.

Menurut dia, proyek Sabuk dan Jalan menatap kerja sama ekonomi dan membangun perdamaian.

Proyek itu, lanjut Liao, bukan misi untuk membangun koalisi geopolitik dan militer, serta tidak memandang latar belakang ideologi suatu negara atau bangsa.

Ia menegaskan, filosofi tersebut yang menjadi landasan kerja sama China dengan dunia Arab dan juga bangsa-bangsa lain.

Pengamat politik Mesir, Mustafa Fiki, pada kata pengantar dalam buku itu mengatakan, lahirnya proyek Sabuk dan Jalan semakin mendekatkan hubungan China dan dunia Arab yang sesungguhnya sudah terjalin lama.

Ia menyebut proyek tersebut mengantarkan hubungan China-dunia Arab tidak terbatas ekonomi dan politik, tetapi bisa meluas ke sektor militer dan budaya.

Sementara Shereen al-Jaber dalam buku Dunia Arab dan Proyek Sabuk dan Jalan, Peluang dan Tantangan mengatakan, dunia Arab dipandang vital dalam pandangan diplomasi China saat ini. Sebaliknya dunia Arab juga melihat China sebagai mitra strategisnya dalam semua sektor. Terbitnya banyak buku tentang China di dunia Arab saat ini tentu tidak terlepas dari perkembangan pesat hubungan China-Dunia Arab terakhir ini, khususnya antara China dan negara-negara Arab kaya Teluk.

Dalam konteks kultur dan sistem politik, banyak negara Arab kini memandang China sebagai kiblat yang menerapkan sistem politik diktator, tetapi dalam waktu sama mengadopsi kebijakan ekonomi kapitalis dan berhasil meraih kemajuan luar biasa.

Kultur dan sistem politik China tersebut dianggap selaras dengan kultur bangsa Arab yang menerapkan sistem politik  dalam bentuk monarki mutlak atau rezim militer, tetapi dalam waktu yang sama menerapkan kebijakan ekonomi kapitalis.

Kultur politik seperti itu yang digandrungi dan diterapkan di negara-negara Arab Teluk, Mesir, Jordania, Maroko, Mauritania, dan Aljazair, karena berhasil menciptakan stabilitas dan pembangunan berkesinambungan.

Sebaliknya, negara Arab yang mencoba menerapkan sistem demokrasi, seperti di Irak, Lebanon, dan Tunisia, ternyata gagal menciptakan stabilitas serta selalu dililit krisis politik dan ekonomi.

China pun segera menangkap psikologi bangsa Arab yang kini sangat mengandrunginya itu. China melalui proyek Sabuk dan Jalan terus berusaha mengembangkan hubungan dalam berbagai sektor dengan dunia Arab, baik ekonomi maupun militer.

Stasiun televisi CNN pada akhir Desember lalu merilis laporan bahwa Arab Saudi sedang membangun industri rudal balistik dengan bantuan China.

Iran pun juga berkat bantuan China plus Rusia dan Korea Utara berhasil memiliki armada rudal balistik tangguh dan bahkan terkuat di Timur Tengah.

Arab Saudi tampaknya tidak memiliki jalan lain yang cepat untuk membangun industri rudal balistik, kecuali memilih jalan yang sama dengan Iran, yakni meminta bantuan China.

Dalam perdagangan, dari jumlah 266,5 miliar dollar AS neraca perdagangan China-dunia Arab tahun 2019, 190 miliar dollar AS adalah neraca perdagangan China dan negara-negara Arab kaya Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab/UEA, Bahrain, dan Oman) tahun 2019.

China kini merupakan mitra dagang terbesar negara-negara Arab kaya Teluk. Pada masa pandemi tahun 2020, negara perdagangan China dan negara-negara Arab kaya Teluk mencapai 162 miliar dollar AS. Pada semester pertama tahun 2021, neraca perdagangan China dan negara-negara Arab kaya Teluk mencapai 103,8 miliar dollar AS.

Di Kesultanan Oman, China diberitakan mengucurkan dana 10 miliar dollar AS untuk pembangunan kilang minyak dan industri petrokimia di kota pantai Duqm, serta proyek infrastruktur lainnya, seperti pembangunan kota industri Dugm. Selama ini 90 persen ekspor minyak Oman menuju China.

China memberi prioritas membangun hubungan kuat dengan negara-negara Arab kaya Teluk karena sebagian besar impor minyak China berasal dari kawasan Arab Teluk. China pun selama ini dengan lapang dada memasok berbagai kebutuhan teknologi negara-negara Arab Teluk dengan imbalan kesinambungan pasokan minyak dari kawasan Arab Teluk ke China.

China juga tercatat menjadi eksportir terbesar ke Mesir saat ini hingga menguasai sekitar 15 persen pangsa pasar Mesir.

Neraca perdagangan China-Mesir mencapai 13.2 miliar dollar AS pada tahun 2019.

Sejauh ini, dunia Arab, khususnya negara-negara Arab kaya Teluk, berhasil membangun hubungan yang imbang antara China dan AS.

Di satu pihak, dunia Arab, khususnya negara-negara Arab kaya Teluk, masih tergantung secara keamanan kepada AS.

Namun di pihak lain, banyak negara Arab semakin kuat menjalin hubungan ekonomi dengan China.

Laju yang kuat hubungan ekonomi China-dunia Arab saat ini sudah sulit dibendung.

Tidak sedikit negara Arab secara ekonomi sekarang sangat tergantung pada bantuan China.

Ini disadari oleh AS dan dunia Barat. Mereka tidak bisa lagi mencegah atau memprotes semakin kuatnya hegemoni China atas pasar dunia Arab.

Baca juga: KORBAN TEWAS Capai 1.604 Orang dan 4.594 Terluka, Hamas Buka Dialog Kemungkinan Gencatan Senjata

(*/tribun-medan.com/bbc)

Baca juga: Israel Terus Bombardir Gaza, Kini Hamas Bicara Kemungkinan Gencatan Senjata, Ancam Eksekusi Sandera

Baca juga: YUK IDENTIFIKASI Warga dan Tentara Israel yang Disandera Hamas, Terungkap Lokasi Para Tawanan

Baca juga: Ucapan Hendropriyono Kenyataan: Intelijen Israel Sama Saja, Tak Jago-jago Amat, Bisa Kecolongan Juga

Baca juga: PUTIN Rayakan Ultah saat Ribuan Roket Hamas Meluncur di Langit Israel, Ini Pesan Pemimpin Chechnya

Baca juga: Perbandingan Harga Roket Hamas dengan Rudal Pertahanan Udara Iron Dome Israel, Bisa Bikin Bangkrut

Baca juga: KENAPA Roket Hamas yang Harganya Murah Bisa Menembus Kota Israel? Ternyata Ini Penyebabnya

Baca juga: Jurnalis Israel Haaretz: Israel Dipermalukan Serangan Hamas, Ungkap Dua Kelengahan Israel Kali Ini

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved