Berita Viral

Presiden Jokowi Dinobatkan Sebagai Alumni Paling Memalukan Oleh BEM UGM: Paling Berdosa

BEM UGM menobatkan Presiden Jokowi sebagai 'Alumni Paling Memalukan'. Para mahasiswa itu melakukan prosesi penyerahan sertifikat

HO
BEM UGM menobatkan Presiden Jokowi sebagai 'Alumni Paling Memalukan'. Para mahasiswa itu melakukan prosesi penyerahan sertifikat 

Serentetan persoalan tersebut, menjadikan Indeks demokrasi Indonesia dinilai semakin menurun.

"Kita merasa sudah tidak ada momentum lain selain sekarang untuk menobatkan Presiden Jokowi sebagai alumnus paling memalukan," kata Gielbran.

Baca juga: TERKUAK! Inilah Pekerjaan Istri Siri Jaksa di Bandung yang jadi ODGJ, Jago Melobi dan Hobi Belanja

Baca juga: Tersangka yang Cabuli Anak hingga Hamil di Kota Binjai akan Diadili di PN Stabat

Penobatan Jokowi sebagai alumnus UGM paling memalukan ini disimbolkan dengan pemasangan baliho bergambar wajah Jokowi.

Baliho berukuran cukup besar sekira 3x4 meter ini menggambarkan bagaimana Jokowi dalam dua fase.

Yaitu mengenakan almamater UGM berikut caping berpadu dengan Jokowi memakai jas dan mahkota raja.

Baliho tersebut terpasang di 3-4 titik di seputar kampus UGM.

Selain itu, wajah Jokowi dalam bentuk topeng juga dihadirkan dalam kursi kosong di diskusi tersebut.

Di akhir acara, panitia menyerahkan kajian berikut sertifikat alumnus paling memalukan kepada manipulasi Jokowi yang diperankan oleh perwakilan massa.

Nantinya sertifikat dan kajian itu bakal dilayangkan melalui Pos ke Istana Presiden.

Menurut Gielbran, Joko Widodo tidak mencirikan lagi nilai-nilai UGM.

Jokowi di akhir masa pemerintahan justru menghendaki perpanjangan kekuasaan laiknya seorang raja Jawa. Tanpa memperhatikan nilai etik.

"Belum lagi bicara dinasti politik beliau, yang jelas terpampang di depan mata kita," ujarnya.

"Sehingga saya rasa seperti tadi tidak ada momentum selain sekarang untuk menobatkan beliau sebagai alumnus paling memalukan," imbuhnya.

Mimbar diskusi publik di Bundaran UGM ini menghadirkan narasumber Aktivis Hak Asasi Manusia, Fatia Maulidiyanti dan akademisi sekaligus peneliti Hukum Tata Negara Indonesia, Dr. Zainal Arifin Mochtar.

Diskusi ini juga menghadirkan koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) tahun 2010-2016, Haris Azhar.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved