Berita Viral

Kompol Yogi Berupaya Rekayasa Kematian Brigadir Nurhadi, Telepon AKP Hutahaean Minta CCTV Dihapus

Fakta mengejutkan terungkap di persidangan kasus pembunuhan Brigadir Nurhadi di Gili Trawangan, Lombok Utara, NTB.

|
Editor: Juang Naibaho
Kolase Tribun Medan
SIDANG PERDANA - Dua terdakwa Kompol Made Yogi Purusa Utama dan Ipda Aris Candra menjalani sidang perdana kasus pembunuhan Brigadir Nurhadi di Pengadilan Negeri Mataram, Senin (27/10/2025). Di waktu bersamaan dan tempat berbeda, Misri terlihat mengunggah story instagram berupa foto dirinya tersenyum. Terungkap di sidang, Kompol Yogi berupaya merekayasa kematian Brigadir Nurhadi dengan menelepon Kasat Reskrim Polres Lombok Utara AKP Pulungan Hutahaean meminta agar CCTV dihapus. 

TRIBUN-MEDAN.com - Fakta mengejutkan terungkap di persidangan kasus pembunuhan Brigadir Muhamad Nurhadi di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Terdakwa Kompol I Made Yogi Purusa Utama dan Ipda Aris berupaya melakukan rekayasa kematian Brigadir Nurhadi. Keduanya meminta agar rekaman kamera CCTV di hotel lokasi kejadian dihapus.

Hal itu terungkap dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di di Pengadilan Negeri Mataram, Senin (27/10/2025).

Brigadir Nurhadi adalah anggota Propam Polda NTB. Adapun Yogi dan Aris telah diberhentikan dari dinas kepolisian.

JPU menyampaikan, Yogi dan Aris menghubungi Kasat Reskrim Polres Lombok Utara AKP Punguan Hutahaean meminta agar rekaman CCTV di hotel itu dihapus.

Dalam dakwaan juga disebutkan, Yogi menyampaikan kepada AKP Pulungan Hutahaean bahwa Nurhadi meninggal akibat salto di kolam.

Namun, karena khawatir dengan potensi penyimpangan dalam penanganan kasus, AKP Pulungan Hutahaean memilih melaporkan bahwa perkara tersebut akan diambil alih oleh Polda NTB.

Selain itu, Kompol Yogi juga disebut meminta Aris dan Misri, teman kencannya, menghapus isi percakapan di ponsel mereka, termasuk komunikasi dengan Meylani Putri yang merupakan teman kencan Aris.

Masih dalam dakwaan disebutkan, Ipda Aris Candra melarang pihak klinik mendokumentasikan jenazah korban.

“Sehingga dengan adanya pelarangan tersebut, saksi bersama tim medis Klinik Warna Medika tidak berani membuat foto dan rekam medis sebagai data pelengkap membuat surat kematian,” ujar JPU Muklish.

Padahal, kata jaksa, pembuatan rekam medis dan dokumentasi jenazah merupakan bagian dari standar operasional prosedur (SOP) yang penting sebagai dasar penerbitan surat kematian sekaligus bukti untuk mengungkap peristiwa pidana.

Tim medis Klinik Warna Medika juga membuat surat kematian dengan tanggal mundur, yakni tertulis 16 April 2024.

Padahal kejadian sebenarnya berlangsung pada 2025. Waktu kejadian pun dicatat menggunakan Waktu Indonesia Barat (WIB), bukan WITA sesuai lokasi.

Jaksa juga mengungkap, kedua terdakwa melarang petugas patroli melakukan identifikasi terhadap jenazah korban.

“Terdakwa (Aris Candra) juga melarang saksi Brian Dwi Siswanto (anggota patroli) untuk melakukan pengecekan jenazah dan mengecek kamar di Klinik Warna Medika,” kata Muklish.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved